Fenomena pornografi di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif karena bersentuhan langsung dengan moralitas, budaya, dan agama masyarakat. Hukum nasional, melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, sebenarnya berupaya menegakkan batas yang jelas antara ekspresi seni, kebudayaan, dan pelanggaran terhadap kesusilaan. Namun, dalam praktiknya, garis pemisah itu seringkali tidak tegas. Banyak karya atau kegiatan yang dianggap bernilai seni atau penelitian justru terseret dalam kategori pelanggaran pornografi. Di sinilah pentingnya memahami pengecualian dan pembenaran hukum agar penegakan hukum tidak mengorbankan kebebasan berekspresi dan nilai budaya bangsa yang beragam.
Secara normatif, UU Pornografi mendefinisikan pornografi secara luas, mencakup segala bentuk pesan visual, suara, tulisan, atau gerak tubuh yang memuat unsur kecabulan atau eksploitasi seksual dan melanggar norma kesusilaan. Namun, dalam batasan itu, undang-undang juga memberikan ruang pengecualian. Pengecualian ini ditujukan untuk melindungi nilai seni, budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk. Artinya, tidak semua tampilan tubuh atau ekspresi sensual langsung bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Ada konteks dan tujuan yang harus dilihat terlebih dahulu sebelum suatu perbuatan dikualifikasi sebagai tindak pidana pornografi.
Konteks pengecualian ini muncul karena hukum tidak hanya bekerja dalam ruang teks undang-undang, tetapi juga dalam ruang sosial masyarakat. Misalnya, pakaian adat di beberapa daerah yang memperlihatkan sebagian tubuh tidak dapat serta-merta disebut melanggar kesusilaan. Begitu pula dengan pertunjukan seni tradisional atau ritual keagamaan yang mengandung unsur tubuh manusia, selama dilakukan sesuai dengan nilai budaya dan tidak bertujuan untuk mengeksploitasi, harus ditempatkan sebagai ekspresi kultural, bukan tindakan pidana. Di sinilah asas keadilan substantif bekerja—bahwa hukum tidak hanya menghukum, tetapi juga memahami realitas sosial dan budaya tempat hukum itu ditegakkan.
Dalam penegakan hukum, pengecualian juga diberikan kepada lembaga yang memiliki kewenangan tertentu. Misalnya, lembaga penyensoran film, lembaga penyiaran, penegak hukum, lembaga pendidikan, hingga lembaga pelayanan kesehatan. Semua lembaga ini dapat menggunakan atau memanfaatkan materi yang mengandung unsur pornografi sepanjang untuk kepentingan yang dibenarkan oleh undang-undang. Seorang dokter atau terapis seksual, misalnya, bisa menggunakan materi visual yang memperlihatkan organ tubuh manusia untuk tujuan medis tanpa dianggap melanggar hukum. Begitu pula lembaga pendidikan atau perpustakaan yang menyimpan arsip atau bahan penelitian dengan muatan serupa tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana. Jadi, unsur “kepentingan” menjadi kunci dalam memahami pengecualian ini.
Namun, di sisi lain, konsep pengecualian ini tidak boleh disalahgunakan. Dalam praktiknya, ada kemungkinan pihak tertentu berlindung di balik dalih seni, budaya, atau pendidikan untuk menutupi aktivitas yang sebenarnya bersifat eksploitatif. Oleh karena itu, pembenaran hukum tidak bisa diberikan secara otomatis hanya karena pelaku mengklaim tindakannya bersifat edukatif atau artistik. Pembenaran harus dilihat dari niat, bentuk penyajian, dan dampak yang ditimbulkan. Jika suatu karya atau pertunjukan lebih menonjolkan unsur rangsangan seksual daripada nilai budaya atau pesan moral, maka secara substantif tetap termasuk dalam kategori pelanggaran pornografi. Di sinilah peran keterangan ahli menjadi sangat penting dalam proses penyidikan dan persidangan, agar penilaian terhadap suatu tindakan benar-benar obyektif dan proporsional.
Lebih jauh, keberadaan pengecualian dan pembenaran hukum ini sebenarnya menunjukkan bahwa hukum nasional tidak bermaksud menutup diri dari perkembangan seni dan budaya. Justru, hukum mencoba menjaga keseimbangan antara moralitas publik dan kebebasan berekspresi. Di satu sisi, hukum berfungsi melindungi masyarakat dari degradasi moral akibat maraknya konten cabul dan eksploitasi seksual, terutama yang melibatkan anak. Namun di sisi lain, hukum juga tidak boleh mengekang kreativitas dan ekspresi budaya yang menjadi bagian dari jati diri bangsa. Ini menjadi tantangan besar bagi aparat penegak hukum, karena mereka harus mampu menilai secara kontekstual setiap kasus yang muncul, bukan hanya berdasarkan teks undang-undang semata.
Dalam kerangka maslahah, pengecualian dan pembenaran hukum dapat dipahami sebagai upaya menjaga kemaslahatan umum, yaitu melindungi masyarakat dari mudarat sekaligus memberi ruang bagi kemanfaatan sosial. Hukum tidak bisa diterapkan secara kaku karena setiap masyarakat memiliki karakter dan nilai budaya yang berbeda. Apa yang dianggap tidak sopan di satu daerah, bisa jadi merupakan hal biasa di daerah lain. Oleh karena itu, dalam menegakkan hukum pornografi, pemahaman terhadap konteks sosial, nilai adat, dan kebiasaan masyarakat menjadi syarat mutlak agar hukum tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.
Penting juga dicatat bahwa undang-undang menegaskan pengecualian bagi pihak yang dipaksa, dibujuk, atau ditipu untuk menjadi objek atau model pornografi. Orang yang terlibat dalam kondisi tersebut tidak dapat dipidana karena kehilangan kehendak bebasnya. Prinsip ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya melihat perbuatan, tetapi juga mempertimbangkan keadaan psikologis dan sosial pelaku. Dalam hal ini, hukum berfungsi melindungi korban, bukan menghukumnya. Pendekatan seperti ini memperlihatkan wajah hukum yang humanis dan sesuai dengan semangat keadilan sosial yang ingin dibangun dalam sistem hukum nasional.
Meski sudah ada ketentuan yang cukup rinci, pelaksanaan hukum di lapangan tetap menghadapi banyak tantangan. Salah satu persoalan utama adalah kesulitan membedakan antara ekspresi seni dan pornografi komersial. Tanpa kepekaan budaya, aparat bisa saja melakukan kriminalisasi terhadap ekspresi yang sebenarnya sah. Sebaliknya, tanpa ketegasan, dalih seni bisa digunakan untuk melanggengkan eksploitasi seksual terselubung. Karena itu, pelatihan dan pemahaman yang mendalam bagi aparat penegak hukum menjadi keharusan agar interpretasi terhadap pasal-pasal pornografi tidak keliru arah.
Pada akhirnya, pengecualian dan pembenaran hukum dalam tindak pidana pornografi bukanlah bentuk kelemahan undang-undang, melainkan wujud keseimbangan antara pelindungan moral publik dan penghormatan terhadap keberagaman budaya. Hukum tidak dimaksudkan untuk mengekang kreativitas, tetapi untuk mengarahkan agar setiap bentuk ekspresi manusia tetap selaras dengan nilai kesusilaan dan kemanusiaan. Dengan demikian, reformasi hukum dalam bidang ini seharusnya berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar kepastian tekstual. Di tengah masyarakat yang semakin digital dan terbuka, pemahaman terhadap konteks sosial dan budaya menjadi senjata utama agar penegakan hukum pornografi berjalan bijak, berkeadilan, dan tetap berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.

0 Komentar