Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan peningkatan jumlah pengguna dari tahun ke tahun, tidak hanya di kalangan orang dewasa tetapi juga remaja dan bahkan anak-anak. Maraknya jenis narkotika baru yang masuk ke Indonesia memperburuk situasi, karena aparat penegak hukum sering kali tertinggal dalam mengantisipasi pola peredaran yang semakin bervariasi.
Kondisi ini menuntut adanya sistem pemidanaan yang efektif, bukan hanya untuk memberi efek jera kepada pelaku, tetapi juga untuk melindungi masyarakat dan melakukan pembinaan terhadap pengguna. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah sistem pemidanaan ganda atau double track system, yaitu penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan sekaligus.
Sistem pemidanaan ganda merupakan konsep dalam hukum pidana yang menempatkan dua jenis sanksi secara berdampingan: sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana berorientasi pada pembalasan terhadap perbuatan pelaku, seperti pidana penjara, pidana seumur hidup, bahkan pidana mati yang dapat disertai pidana denda. Sementara itu, sanksi tindakan lebih menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dan pembinaan pelaku, misalnya melalui rehabilitasi medis atau sosial bagi pengguna narkotika.
Dengan sistem ini, pelaku tidak hanya dijatuhi hukuman penjara atau denda, tetapi juga dapat diarahkan pada upaya pemulihan. Pendekatan ini diharapkan lebih efektif untuk mengatasi permasalahan narkotika, karena penyalahgunaan sering kali terkait dengan ketergantungan yang memerlukan perawatan, bukan semata-mata pemidanaan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur bahwa sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dapat berupa pidana badan yang sifatnya sangat tegas, mulai dari penjara, pidana seumur hidup, hingga pidana mati, ditambah pidana denda (Pasal 111–148). Namun, undang-undang ini juga membuka ruang bagi sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi pengguna yang terbukti sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.
Konsep ini sejalan dengan pandangan bahwa pengguna narkotika, khususnya yang mengalami ketergantungan, memerlukan perawatan medis dan bimbingan sosial agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Oleh karena itu, hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi, terutama bila pelaku memenuhi syarat sebagai pengguna atau korban, bukan pengedar.
Perbedaan mendasar antara kedua sanksi ini terletak pada tujuan dan orientasinya. Sanksi pidana dimaksudkan untuk memberikan penderitaan yang setimpal kepada pelaku sebagai bentuk pencelaan terhadap perbuatannya, dengan harapan menimbulkan efek jera. Sementara itu, sanksi tindakan lebih bersifat mendidik, melindungi masyarakat, serta memperbaiki perilaku pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.
Dengan demikian, double track system tidak hanya memandang pelaku sebagai pihak yang harus dihukum, tetapi juga sebagai individu yang masih memiliki kesempatan untuk diperbaiki, terutama bagi mereka yang terjerumus sebagai pengguna karena faktor lingkungan atau tekanan sosial.
Secara teori, double track system memberikan keseimbangan antara aspek retributif (pembalasan) dan aspek preventif-rehabilitatif. Namun, efektivitasnya di lapangan masih bergantung pada banyak faktor, seperti penegakan hukum yang konsisten, fasilitas rehabilitasi yang memadai, dan dukungan masyarakat. Tanpa dukungan tersebut, penerapan sistem ini berisiko berat sebelah—cenderung hanya menekankan pada pemidanaan dan mengabaikan rehabilitasi.
Selain itu, implementasi sistem ini memerlukan pemahaman yang lebih di antara aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, jaksa, hingga hakim. Perbedaan persepsi sering kali membuat putusan yang seharusnya memberikan rehabilitasi justru berubah menjadi hukuman penjara, meskipun pelaku memenuhi kriteria sebagai pecandu yang memerlukan perawatan.
Sistem pemidanaan ganda dalam kasus narkotika adalah langkah strategis yang menggabungkan sanksi pidana dan sanksi tindakan, dengan tujuan tidak hanya menghukum tetapi juga membina pelaku. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah menyediakan landasan hukum yang jelas untuk penerapan sistem ini, termasuk kemungkinan rehabilitasi bagi pengguna narkotika.
Namun, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada keseriusan semua pihak pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat dalam menegakkan hukum sekaligus memberikan peluang pemulihan bagi pelaku. Jika dijalankan secara konsisten, double track system dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam memutus mata rantai penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
0 Komentar