Hak atas tanah di Indonesia tidak hanya berbicara tentang kepemilikan, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang menjadi ruh dari sistem hukum pertanahan nasional. Landasan terkuatnya ada pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip ini kemudian dijabarkan lebih rinci melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang menjadi payung hukum utama dalam urusan pertanahan.
Sebelum UUPA berlaku, sistem pertanahan Indonesia diwarnai dualisme hukum: hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat pribumi dan hukum barat warisan pemerintah kolonial. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga memperlebar kesenjangan penguasaan tanah, di mana sebagian besar lahan produktif dikuasai segelintir pihak. Melihat realitas ini, UUPA hadir untuk menyatukan aturan pertanahan menjadi satu sistem nasional yang berpijak pada nilai hukum adat, namun tetap disesuaikan dengan kepentingan negara modern.
Salah satu prinsip terpenting dalam UUPA adalah bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Artinya, tanah tidak boleh digunakan semata untuk kepentingan pribadi yang mengabaikan kepentingan umum. Prinsip ini menjadi pijakan utama untuk mencegah praktik monopoli lahan dan memastikan distribusi pemanfaatan tanah berjalan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebelum 1960, hukum agraria di Indonesia masih banyak dipengaruhi sistem kolonial. Sebagian besar tanah dikelola dengan tujuan menguntungkan pemerintah jajahan, sementara rakyat pribumi sering kali hanya menjadi penggarap tanpa kepastian hak. Sistem dualisme hukum—hukum adat di satu sisi dan hukum barat di sisi lain—menyebabkan tumpang tindih aturan dan menimbulkan konflik kepemilikan.
UUPA disahkan pada 24 September 1960 dengan empat pertimbangan utama: pertama, tanah, air, dan ruang angkasa adalah karunia Tuhan yang memiliki fungsi penting bagi pembangunan masyarakat adil dan makmur; kedua, hukum agraria kolonial bertentangan dengan kepentingan rakyat; ketiga, adanya dualisme hukum yang harus diakhiri; keempat, hukum kolonial tidak memberikan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia.
Pasal-pasal kunci yang menegaskan fungsi sosial tanah antara lain:
-
Pasal 1: seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat yang bersatu sebagai bangsa.
-
Pasal 2: negara memegang hak menguasai tertinggi atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam.
-
Pasal 3: pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat sepanjang sesuai kepentingan nasional.
-
Pasal 5: hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat, sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangan.
-
Pasal 6: semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dengan kerangka ini, UUPA berupaya mengatur agar pemanfaatan tanah selalu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pemegang hak dan masyarakat luas.
Jenis Hak Penguasaan dan Kaitan dengan Fungsi Sosial
1. Hak Bangsa Indonesia
Hak ini merupakan penguasaan tertinggi atas tanah, meliputi seluruh wilayah negara. Unsurnya mencakup kepunyaan bersama rakyat Indonesia serta kewenangan untuk mengatur penggunaan tanah. Hak Bangsa bukan berarti kepemilikan perorangan, melainkan hak kolektif seluruh rakyat yang pelaksanaannya diamanatkan kepada negara.
2. Hak Menguasai dari Negara
Negara berperan sebagai pengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Wewenang ini mencakup penetapan hubungan hukum antara orang dengan tanah, serta pengaturan perbuatan hukum terkait tanah. Namun, prinsipnya, negara tidak boleh menempatkan rakyat di bawah posisinya; negara hanya menjadi “wasit” yang adil.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur dan memanfaatkan tanah di wilayahnya. UUPA mengakui keberadaan hak ini sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Hak ulayat mengandung unsur kepunyaan kolektif sekaligus kewenangan mengatur pemanfaatan tanah bersama.
4. Hak Individual atau Perorangan
Jenis hak ini meliputi:
-
Hak Milik: hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki warga negara Indonesia, namun tetap dibatasi fungsi sosialnya.
-
Hak Guna Usaha (HGU): hak mengusahakan tanah negara untuk pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan dalam jangka waktu tertentu.
-
Hak Guna Bangunan (HGB): hak mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya untuk jangka waktu tertentu.
-
Hak Pakai: hak menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai negara atau pihak lain.
Semua hak ini, meski berbeda sifat dan jangka waktunya, tetap tunduk pada prinsip fungsi sosial, yang berarti pemanfaatannya harus memperhatikan kepentingan bersama, tidak menelantarkan tanah, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Prinsip fungsi sosial tanah dimaksudkan untuk menjamin pemerataan pemanfaatan lahan, menghindari konsentrasi kepemilikan yang merugikan masyarakat, serta memastikan tanah dimanfaatkan secara optimal. Negara, melalui kewenangan menguasai, dapat mengatur redistribusi tanah, membatasi luas kepemilikan, dan mengambil alih tanah yang ditelantarkan.
UUPA juga mengatur bahwa tanah tidak boleh digunakan secara bertentangan dengan sifat dan tujuan pemberian haknya. Misalnya, tanah HGU harus diusahakan sesuai peruntukannya, bukan dialihfungsikan tanpa izin. Hal ini bertujuan menjaga agar tanah tetap produktif dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya pemegang hak.
Dengan demikian, fungsi sosial tanah berperan sebagai instrumen hukum yang menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan umum, sekaligus menjaga kelestarian sumber daya alam untuk generasi mendatang.
Meski norma hukumnya jelas, penerapan fungsi sosial tanah di lapangan menghadapi berbagai hambatan. Kasus penelantaran tanah, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian, hingga konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah daerah masih sering terjadi.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Ada pula faktor rendahnya kesadaran masyarakat akan kewajiban mereka sebagai pemegang hak atas tanah. Selain itu, mekanisme redistribusi tanah belum sepenuhnya berjalan efektif di semua wilayah.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan langkah-langkah seperti:
-
Penguatan pengawasan terhadap penggunaan tanah agar sesuai peruntukan.
-
Penyelesaian sengketa agraria secara adil melalui mediasi atau peradilan.
-
Edukasi masyarakat mengenai hak dan kewajiban atas tanah, termasuk kewajiban menjaga fungsi sosialnya.
-
Peningkatan koordinasi antarinstansi agar kebijakan pertanahan berjalan seragam dan tidak tumpang tindih.
Fungsi sosial hak atas tanah adalah pilar utama dalam mewujudkan keadilan agraria di Indonesia. Melalui UUPA, prinsip ini ditempatkan sebagai kewajiban yang melekat pada setiap jenis hak penguasaan tanah. Tujuannya jelas: menjadikan tanah sebagai sumber kehidupan yang dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh rakyat.
0 Komentar