Permasalahan waris di Indonesia tidak lepas dari adanya pluralisme hukum. Dalam praktiknya, masyarakat sering menggunakan aturan waris adat, hukum Islam, maupun KUH Perdata sebagai pedoman. Namun secara umum, KUH Perdata masih menjadi acuan utama dalam menyelesaikan masalah waris. Hukum waris sendiri mengatur tentang peralihan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Tiga unsur penting dalam hukum waris adalah pewaris (orang yang meninggal), harta peninggalan, dan ahli waris sebagai penerima.
Di antara persoalan yang muncul, ada satu isu yang sering luput dibahas, yaitu mengenai ahli waris dalam keadaan tak hadir (afwezig). Ahli waris yang dimaksud adalah orang yang tidak diketahui keberadaannya—hilang tanpa kabar—sehingga tidak bisa dipastikan apakah masih hidup atau sudah meninggal. Situasi ini sering menimbulkan masalah karena harta warisan tetap harus dibagi, sementara status ahli waris yang hilang belum jelas. Kekosongan norma dan praktik yang tidak konsisten sering kali membuat hak ahli waris tak hadir terabaikan. Oleh karena itu, perlu ditinjau bagaimana KUH Perdata mengatur perlindungan hukum bagi ahli waris yang berada dalam keadaan ini.
Secara garis besar, KUH Perdata Pasal 463 mengatur tentang orang dalam keadaan tak hadir. Pasal ini menyebutkan bahwa jika seseorang pergi meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa kepada orang lain, maka pengadilan melalui Balai Harta Peninggalan dapat mengambil alih pengurusan harta kekayaannya. Dengan kata lain, meski ahli waris tidak diketahui keberadaannya, haknya tetap melekat dan tidak otomatis hilang.
Selanjutnya, Pasal 467 KUH Perdata menegaskan bahwa jika seseorang tidak terdengar kabarnya selama lima tahun, maka pengadilan dapat memanggilnya secara resmi. Apabila setelah pemanggilan tiga kali tidak ada kabar, maka orang tersebut dapat dianggap sudah meninggal secara hukum. Putusan ini menjadi dasar untuk menetapkan siapa ahli waris pengganti yang berhak atas harta tersebut. Sedangkan Pasal 468 KUH Perdata mengatur mekanisme pengumuman keputusan itu melalui media massa, agar ada kepastian hukum dan masyarakat mengetahui status yang bersangkutan.
Dari aturan tersebut terlihat bahwa KUH Perdata tidak serta-merta mencabut hak ahli waris yang hilang, tetapi memberikan mekanisme hukum untuk melindungi kepentingannya. Artinya, meskipun statusnya tidak jelas, haknya tetap diakui sampai ada keputusan pengadilan.
Konsep perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo adalah upaya melindungi hak asasi manusia dari kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain, sekaligus memastikan bahwa masyarakat dapat menikmati hak-haknya yang dijamin oleh hukum. Dalam konteks ini, perlindungan hukum bagi ahli waris tak hadir berarti menjaga agar haknya atas warisan tidak hilang begitu saja.
Perlindungan tersebut diwujudkan dengan penunjukan Balai Harta Peninggalan atau keluarga dekat untuk mengurus harta peninggalan sementara. Hal ini mencegah terjadinya penyalahgunaan atau penguasaan sepihak atas harta peninggalan. Selain itu, pasal-pasal dalam KUH Perdata memastikan bahwa jika ahli waris tersebut kembali, hak-haknya akan dikembalikan sebagaimana mestinya. Dengan begitu, mekanisme hukum ini berfungsi menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak individu.
Namun, di lapangan sering muncul kendala. Ada kalanya keluarga atau ahli waris lain tidak mengindahkan aturan ini, bahkan langsung membagi warisan tanpa memperhatikan status ahli waris yang hilang. Situasi ini menimbulkan konflik dan ketidakpastian, sehingga penting bagi aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan KUH Perdata dengan konsisten.
Persoalan semakin kompleks ketika ahli waris yang dianggap hilang ternyata kembali setelah warisan sudah dibagi. KUH Perdata Pasal 482 ayat (1) memberikan solusi dengan menegaskan bahwa ahli waris pengganti yang sudah menikmati harta warisan wajib mengembalikan bagian tersebut kepada ahli waris asli.
Namun, pengembalian ini dibatasi oleh waktu. Apabila ahli waris kembali setelah lebih dari tiga puluh tahun sejak adanya putusan pengadilan yang menyatakan dirinya hilang atau meninggal, maka hak untuk menuntut warisan dibatasi. Dalam kondisi ini, ahli waris hanya bisa menuntut barang-barang tertentu yang masih ada atau hasil yang langsung terkait dengan harta warisannya, tanpa termasuk keuntungan tambahan. Aturan ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, karena jika tidak dibatasi maka akan menimbulkan ketidakpastian yang terlalu panjang bagi pihak lain.
Dengan demikian, implikasi hukum ini menunjukkan bahwa KUH Perdata berusaha menjaga hak ahli waris tak hadir, namun tetap memberikan batasan agar tidak merugikan pihak yang sudah menerima warisan dengan itikad baik.
Melihat ketentuan KUH Perdata, terlihat jelas ada perlindungan hukum yang cukup bagi ahli waris tak hadir. Akan tetapi, dalam praktiknya masih ada kekaburan norma dan pelanggaran. Kekaburan norma muncul karena aturan ada, tetapi penerapannya tidak konsisten atau tidak dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat maupun aparat. Akibatnya, ahli waris tak hadir sering kehilangan haknya karena warisan dibagi begitu saja.
Di sisi lain, perkembangan masyarakat yang semakin kompleks juga menuntut adanya kepastian hukum. Misalnya, dalam kasus migrasi, konflik, atau bencana alam, keberadaan seseorang bisa sulit dipastikan dalam waktu lama. Kondisi ini menuntut agar aturan mengenai ahli waris tak hadir lebih disosialisasikan, sehingga tidak hanya melindungi hak individu, tetapi juga menjaga ketertiban hukum dan mengurangi potensi konflik keluarga.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUH Perdata telah memberikan mekanisme yang cukup jelas dalam melindungi hak ahli waris yang berada dalam keadaan tak hadir. Hak tersebut tetap melekat sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan ahli waris tersebut meninggal dunia. Jika ahli waris kembali, maka haknya atas warisan wajib dikembalikan, kecuali sudah lewat batas waktu tiga puluh tahun.
Sebagai saran, pertama, aparat penegak hukum perlu lebih aktif memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris tak hadir dengan mengawasi pelaksanaan aturan KUH Perdata. Kedua, masyarakat perlu lebih sadar bahwa hak ahli waris tak hadir tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, kepastian hukum dan keadilan bisa berjalan seimbang.
0 Komentar