Kemunculan hukum siber menandai babak baru dalam dinamika hukum pidana di Indonesia. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi telah merevolusi cara individu berinteraksi, namun pada saat yang sama memperluas potensi terjadinya delik pidana, termasuk penghinaan dan pencemaran nama baik. Kejahatan yang dahulu bersifat fisik kini bermigrasi ke ruang virtual, menjadikan media sosial sebagai wahana baru bagi ekspresi sekaligus konflik. Kepekaan terhadap martabat dan nama baik seseorang menjadi lebih krusial karena satu unggahan dapat menyebar luas dalam hitungan detik dan berdampak besar pada reputasi individu maupun institusi.
Dalam konstruksi hukum pidana nasional, asas kesalahan (culpa) merupakan prasyarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban pidana. Namun, ketika kesalahan terjadi di ruang digital, muncul tantangan dalam menentukan intensi, subjek hukum, dan efek dari perbuatan pidana. Pasal 310 dan 311 KUHP yang mengatur tentang penghinaan lisan dan tertulis menjadi dasar hukum klasik, tetapi ruang lingkupnya diperluas melalui Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Melalui regulasi ini, penghinaan yang didistribusikan dalam bentuk elektronik memperoleh dimensi baru sebagai cybercrime, di mana bukti digital seperti tangkapan layar, metadata, dan jejak digital menjadi instrumen vital dalam proses pembuktian.
Kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 tidaklah absolut. Dalam kerangka negara hukum, kebebasan ini dibatasi oleh kepentingan umum, ketertiban, serta hak asasi orang lain. Di sinilah terjadi benturan antara hak individu untuk menyuarakan opini dengan hak orang lain untuk tidak dicemarkan nama baiknya. Dalam praktiknya, seringkali terjadi pemidanaan terhadap ekspresi yang sebenarnya bersifat kritik, bukan pencemaran. Hal ini menunjukkan urgensi penafsiran yang proporsional agar hukum tidak menjadi alat pembungkaman.
Dalam konteks sosial Indonesia, kehormatan dan nama baik tidak hanya dimaknai secara hukum tetapi juga secara kultural dan moral. Nilai-nilai adab dan sopan santun turut memengaruhi persepsi terhadap penghinaan. Hal ini menjadikan pelaporan tindak pidana pencemaran sangat subjektif. Oleh karena itu, delik pencemaran nama baik termasuk dalam delik aduan, yang hanya dapat diproses apabila terdapat laporan dari pihak yang merasa dirugikan secara langsung. Kesadaran hukum masyarakat tentang batas antara kebebasan dan penghinaan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi over-kriminalisasi.
Seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terpenuhi unsur-unsur kesalahan secara formil. Artinya, selain adanya actus reus (perbuatan), harus pula dibuktikan adanya mens rea (niat jahat atau kelalaian). Dalam konteks pencemaran di media sosial, pengadilan harus menelusuri intensi pelaku: apakah unggahan dimaksudkan untuk mempermalukan, atau sekadar bentuk ekspresi? Ini bukan perkara sederhana, karena niat kerap disembunyikan di balik kalimat ambigu. Maka, dalam banyak kasus, hakim dituntut untuk memiliki sensitivitas sosial dan pemahaman kontekstual atas budaya digital.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE memang mengambil referensi langsung dari Pasal 310 KUHP, namun pemberlakuannya dalam konteks media sosial membawa nuansa tersendiri. Pencemaran melalui WhatsApp, Facebook, atau Twitter menimbulkan pertanyaan baru tentang yurisdiksi, keabsahan bukti digital, dan implikasi multidimensi (viralitas, kerugian psikologis, hingga reputasi ekonomi). Perbedaan antara pencemaran (yang menyampaikan pernyataan faktual yang tidak benar) dengan penghinaan (yang bersifat penilaian atau cemoohan) menjadi penting untuk ditelaah secara teliti.
0 Komentar