Fokus Kajian

Disharmoni Regulasi dan Tantangan Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia

Dalam berbagai agenda pembangunan nasional, perempuan dan anak selalu ditempatkan sebagai kelompok prioritas yang harus diberdayakan dan dilindungi. Namun di lapangan, keduanya justru masih menjadi kelompok paling rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Padahal konstitusi, melalui Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, sudah dengan jelas menegaskan tanggung jawab negara terhadap penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia tanpa kecuali termasuk bagi perempuan dan anak. Kesenjangan antara aturan dan realitas inilah yang menjadi titik awal munculnya kebutuhan untuk menata ulang regulasi, agar benar-benar berpihak pada keadilan substantif.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melalui Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum (Pokja AEH) pada tahun 2019 melakukan kajian menyeluruh terhadap dua puluh satu peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Dari hasil telaah tersebut, terungkap bahwa meskipun secara kuantitatif Indonesia sudah memiliki banyak peraturan di bidang ini—mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri—namun secara kualitas, masih ditemukan banyak ketidaksesuaian, tumpang tindih, bahkan potensi disharmoni antar aturan.

Masalah utama yang ditemukan Pokja AEH bukan sekadar banyaknya peraturan, tetapi justru karena setiap aturan sering kali berdiri sendiri tanpa sinkronisasi dengan yang lain. Misalnya, sejumlah undang-undang yang mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, maupun kesejahteraan anak ternyata masih memiliki ruang interpretasi berbeda-beda di tingkat implementasi. Peraturan yang satu kadang menegaskan sesuatu, sementara peraturan lain mengatur hal serupa dengan cara yang berbeda. Akibatnya, penegakan hukum seringkali tidak efektif dan membingungkan aparat di lapangan.

Dari sisi kelembagaan, persoalan lain muncul karena koordinasi antar instansi yang terlibat dalam perlindungan perempuan dan anak masih lemah. BPHN menemukan bahwa regulasi yang seharusnya menjadi pedoman sering kali tidak dilengkapi dengan petunjuk teknis yang jelas. Di sisi lain, banyak peraturan belum menampung nilai-nilai keadilan yang sejati bagi perempuan dan anak. Misalnya, masih adanya norma yang bersifat diskriminatif, seperti pengaturan dalam Undang-Undang Perkawinan yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan gender, terutama dalam hal poligami dan pembagian hak dan kewajiban suami-istri.

Salah satu dimensi penting dalam evaluasi BPHN adalah kesesuaian peraturan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam banyak temuan, masih ada regulasi yang belum sepenuhnya mencerminkan nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua dan kelima Pancasila. Misalnya, pasal-pasal tertentu di beberapa undang-undang mengandung bias gender atau bahkan membuka ruang diskriminasi terhadap perempuan.

Padahal, dalam perspektif pembangunan hukum nasional, setiap norma hukum seharusnya menginternalisasikan nilai-nilai dasar Pancasila. Artinya, hukum tidak boleh berhenti pada teks peraturan semata, tetapi juga harus hidup di tengah masyarakat dan mencerminkan rasa keadilan sosial. Ketika perempuan dan anak masih menjadi kelompok yang paling sering dilanggar haknya, maka penegakan hukum belum bisa dikatakan efektif, seberapa pun banyaknya undang-undang yang telah dibuat.

Hasil evaluasi juga menunjukkan bahwa efektivitas hukum di bidang ini masih rendah karena lemahnya pelaksanaan dan minimnya pengawasan. Banyak aturan yang sudah ada tidak dijalankan secara konsisten. Misalnya, kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan layanan perlindungan dan pemulihan korban kekerasan belum berjalan merata. Di beberapa daerah, bahkan belum ada lembaga yang benar-benar berfungsi memberikan pendampingan hukum atau psikologis bagi korban.

Selain itu, mekanisme perlindungan hukum yang seharusnya melibatkan masyarakat juga masih belum optimal. Di sinilah pentingnya penataan ulang kelembagaan dan kebijakan publik agar lebih terkoordinasi. Hukum tidak bisa berdiri sendiri; ia membutuhkan sistem dukungan berupa sumber daya manusia yang peka gender, prosedur kerja yang jelas, serta regulasi turunan yang memudahkan implementasi.

Dalam rekomendasinya, BPHN menekankan pentingnya pembenahan regulasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan perempuan dan anak. Prinsipnya bukan hanya menambah jumlah aturan baru, melainkan menyelaraskan yang sudah ada agar tidak saling bertentangan. Reformasi hukum harus diarahkan untuk menghapus diskriminasi yang mungkin masih ada di dalam peraturan perundang-undangan dan memastikan setiap pasal benar-benar mencerminkan kesetaraan di depan hukum.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close