Dalam ranah hukum perdata, perjanjian merupakan cerminan hubungan hukum yang terbentuk dari kehendak bebas dua pihak atau lebih untuk saling mengikatkan diri. Di antara berbagai elemen pembentuk perjanjian, “kata sepakat” menempati posisi paling fundamental. Kesepakatan bukan hanya prasyarat formal agar perjanjian sah secara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), tetapi juga menjadi dasar moral dan psikologis yang menjamin kelangsungan dan pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak.
Dalam praktik, banyak persoalan hukum muncul bukan karena kekosongan aturan, melainkan akibat terbentuknya perjanjian yang tidak dilandasi persesuaian kehendak secara murni. Oleh karena itu, kajian terhadap konsep kesepakatan menjadi penting, tidak hanya sebagai dasar normatif, tetapi juga sebagai perangkat preventif dalam mencegah kegagalan pelaksanaan kontrak (wanprestasi).
Kesepakatan yang sah tidak sekadar didasarkan pada tanda tangan atau pernyataan verbal, melainkan juga harus memenuhi prinsip kehendak yang bebas, jujur, dan tidak diperoleh melalui tekanan, penipuan, maupun kekhilafan. Dalam konteks ini, teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan menjadi landasan penting dalam menilai validitas suatu perjanjian. Ketiganya menegaskan bahwa persesuaian niat antara para pihak harus dinyatakan secara jelas dan diterima secara sadar. Kesepakatan yang otentik menjadi benteng awal dalam menjamin bahwa apa yang diperjanjikan benar-benar akan dijalankan, karena masing-masing pihak tidak hanya terikat secara hukum, tetapi juga secara moral.
Dalam kenyataan sosial lebih-lebih bisnis/muamalah, berbagai bentuk sengketa kontraktual yang berujung pada gugatan hukum atau bahkan pidana, seperti penggunaan cek kosong, pengingkaran pembayaran, atau pelanggaran isi kontrak, seringkali berakar pada absennya kesepahaman sejati dalam proses awal perjanjian.
Untuk itu, perjanjian yang ingin mencapai perlindungan hukum dan manfaat optimal bagi para pihak harus memenuhi dua dimensi utama: aspek formal dan aspek material. Aspek formal mencakup kejelasan identitas para pihak, kewenangan hukum, keabsahan objek perjanjian, serta bukti yang sah atas terjadinya kesepakatan. Sementara itu, aspek material menekankan pada kejujuran niat, kesesuaian kehendak dengan norma hukum, serta kesadaran penuh tanpa paksaan.
Dalam praktiknya, bentuk tertulis menjadi instrumen yang sangat dianjurkan karena selain memberikan kejelasan isi kontrak, ia juga memudahkan pembuktian apabila terjadi sengketa. Namun demikian, bentuk tertulis bukan jaminan mutlak validitas kesepakatan jika substansi dari persetujuan itu sendiri cacat. Oleh karena itu, perhatian terhadap proses pembentukan kesepakatan menjadi esensial, dimulai dari negosiasi yang transparan hingga penyusunan klausul yang tidak berat sebelah.
Lebih jauh, kata sepakat dalam perjanjian memiliki muatan etis yang tak kalah penting dari aspek legalnya. Sebuah kontrak sejatinya tidak hanya mengikat secara hukum, tetapi juga mencerminkan integritas para pihak yang saling percaya. Dalam hal ini, prinsip itikad baik menjadi asas sentral yang menghidupkan perjanjian sebagai sarana keadilan. Itikad baik menuntut keterbukaan informasi, kebebasan berkehendak, serta kesetaraan posisi dalam bersepakat. Jika prinsip ini dilanggar, maka konsekuensinya tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga merusak tatanan etika hubungan sosial. Oleh sebab itu, pencegahan terhadap wanprestasi harus dimulai jauh sebelum kontrak ditandatangani, yakni dengan memastikan bahwa kesepakatan terbentuk dari proses yang jujur, cermat, dan terbuka. Tanpa hal ini, hukum kontrak hanya akan menjadi formalitas yang mudah dibengkokkan oleh pihak yang beritikad buruk.
Dari berbagai refleksi tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna kesepakatan dalam perjanjian jauh melampaui sekadar syarat legal. Ia merupakan jantung dari kelangsungan hubungan hukum yang sehat dan adil. Pencegahan terhadap wanprestasi tidak cukup dilakukan melalui sanksi dan gugatan, tetapi lebih tepat dimulai dari rekonstruksi paradigma para pihak tentang pentingnya kesepakatan yang sah dan tulus. Oleh karenanya, dalam pembentukan kontrak baik di bidang bisnis, kerja sama, atau pinjam-meminjam perlu pendekatan komprehensif yang mencakup pemahaman hukum, pendidikan etika, serta kesadaran akan dampak jangka panjang dari komitmen yang diikrarkan. Pemerintah, akademisi, dan praktisi hukum perlu bersinergi dalam memberikan edukasi hukum kepada masyarakat agar setiap perjanjian yang dibuat benar-benar memenuhi standar legal, rasional, dan bermartabat. Dengan demikian, kontrak tidak hanya menjadi alat transaksi, tetapi juga media perlindungan dan penegakan keadilan.
0 Komentar