Fokus Kajian

Harapan Restorative Justice - Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia



Permasalahan keadilan bagi anak di Indonesia hingga saat ini masih menjadi isu yang kompleks dan belum menemukan titik temu di tengah masyarakat termasuk bagi praktisi hukum. Kerumitan tersebut muncul akibat perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap keadilan itu sendiri, di mana keadilan sejatinya merupakan hak asasi manusia yang menjadi fondasi dari suatu negara hukum yang demokratis. Dalam konteks anak, perlindungan hak asasi anak, terutama bagi mereka yang berhadapan dengan hukum, menjadi aspek krusial yang menentukan arah masa depan bangsa. 

Negara, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memegang kewajiban untuk melindungi hak-hak anak, sehingga keberadaan sistem peradilan pidana anak tidak hanya sekadar menjalankan fungsi penghukuman, tetapi juga harus mampu mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan substantif.

Diversi, sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara anak di luar jalur peradilan (non-litigasi), merupakan terobosan hukum yang menitikberatkan pada penyelesaian permasalahan dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi menjadi instrumen utama dalam menekan dampak negatif proses peradilan formal terhadap perkembangan anak. Melalui pendekatan diversi, anak-anak yang berurusan dengan hukum diupayakan untuk tidak serta-merta menjalani proses peradilan konvensional, melainkan diarahkan pada solusi yang lebih edukatif, rehabilitatif, dan konstruktif.

Konsep keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak menawarkan paradigma baru yang berbeda dari pendekatan retributif yang bersifat menghukum. Restorative justice mengedepankan penyelesaian konflik secara damai, partisipatif, dan berorientasi pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Diversi, dalam kerangka restorative justice, dilakukan melalui mekanisme seperti mediasi, konsiliasi, maupun restitusi yang melibatkan seluruh pihak terkait untuk mencapai kesepakatan damai tanpa harus menempuh jalur persidangan.

Prinsip utama dari penerapan restorative justice dalam diversi adalah menempatkan kepentingan terbaik anak di atas segalanya. Dengan demikian, proses penyelesaian perkara tidak hanya berorientasi pada pemberian sanksi, namun lebih pada upaya pemulihan, pengembangan karakter, dan reintegrasi sosial anak ke dalam masyarakat. Praktik diversi yang optimal diharapkan dapat mencegah stigmatisasi dan dampak psikologis negatif terhadap anak yang terlibat dalam proses hukum.

Meskipun regulasi mengenai diversi telah diatur dengan jelas, dalam implementasinya masih dijumpai sejumlah tantangan, seperti pemahaman yang berbeda di kalangan aparat penegak hukum, kurangnya sosialisasi, dan keterbatasan fasilitas pendukung. Hal ini menyebabkan tidak semua kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme diversi secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan upaya berkelanjutan untuk memperkuat pemahaman, komitmen, dan sinergi antar pemangku kepentingan guna memastikan bahwa prinsip keadilan restoratif benar-benar terimplementasi dalam setiap penyelesaian perkara anak.

Optimalisasi diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia merupakan refleksi konkret dari komitmen negara dalam mengedepankan nilai-nilai keadilan, perlindungan anak, dan kemanusiaan. Diversi yang berbasis pada prinsip restorative justice berperan strategis dalam menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak anak.

Selain itu, sistem peradilan pidana anak hendaknya benar-benar menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai landasan utama dalam setiap putusan, sebagaimana ditekankan dalam Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2012, yang menegaskan asas perlindungan anak dan kepentingan terbaik bagi anak sebagai prinsip pelaksanaan sistem peradilan pidana anak. Untuk itu, setiap tindakan aparat penegak hukum harus mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, serta masa depan anak agar tercipta keadilan substantif, bukan sekadar keadilan formal semata.

Harapan lainnya adalah adanya peningkatan kompetensi dan profesionalitas aparat penegak hukum yang menangani perkara anak. Pasal 96 UU No. 11 Tahun 2012 secara khusus mensyaratkan bahwa petugas yang menangani anak wajib memiliki kompetensi di bidang anak yang dibuktikan dengan sertifikat, sehingga proses hukum dapat berjalan dengan lebih sensitif dan berpihak pada perlindungan hak anak. Di samping itu, partisipasi aktif masyarakat sangat diharapkan, sejalan dengan Pasal 69 UU No. 11 Tahun 2012 yang menekankan perlunya keterlibatan masyarakat dalam mendukung pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, baik melalui sosialisasi, program pembinaan, maupun upaya pemulihan sosial anak.

Penyempurnaan regulasi dan penguatan kompetensi para penegak hukum juga menjadi kunci dalam mewujudkan sistem peradilan pidana anak yang humanis, adil, dan berorientasi pada pemulihan. Dengan dukungan regulasi yang adaptif dan fasilitas yang memadai, proses penegakan hukum terhadap anak diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak serta memperkuat jaminan perlindungan hak anak di masa mendatang. 

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close