Fokus Kajian

Implementasi Kebijakan Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana 3C (Curat, Curas, Curanmor)

sumber:pexels

Kejahatan jalanan masih menjadi salah satu persoalan serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Dari berbagai bentuk tindak pidana, kasus pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan (curas), dan pencurian kendaraan bermotor (curanmor), atau yang sering disebut dengan istilah 3C, termasuk dalam kategori tindak pidana yang paling meresahkan masyarakat. Tindak pidana 3C kerap menimbulkan rasa tidak aman karena selain merugikan korban secara material, juga berpotensi menimbulkan luka fisik bahkan korban jiwa.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana 3C menuntut adanya kebijakan yang tegas, terukur, dan konsisten. Aparat kepolisian sebagai garda terdepan dalam upaya ini dituntut tidak hanya menjalankan aturan yang berlaku, tetapi juga mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Implementasi kebijakan penegakan hukum terhadap 3C menjadi bagian penting dari upaya negara dalam melindungi warga sekaligus menjaga stabilitas sosial.

Kebijakan Penegakan Hukum 3C

Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana 3C pada dasarnya berlandaskan pada aturan perundang-undangan dan peraturan internal kepolisian, seperti Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam implementasinya, setiap kebijakan pimpinan wajib dijalankan oleh seluruh jajaran kepolisian di tingkat daerah maupun resort.

Salah satu prinsip penting dalam penegakan hukum 3C adalah tindakan tegas dan terukur terhadap pelaku yang membahayakan korban ataupun aparat. Apabila pelaku melukai korban, bahkan sampai menimbulkan kematian, atau berupaya melawan petugas, maka polisi wajib bertindak secara tegas sesuai prosedur. Sikap ini dimaksudkan agar penegakan hukum tidak hanya memberi efek jera, tetapi juga memberikan perlindungan nyata bagi masyarakat.

Meskipun penegakan hukum 3C identik dengan tindakan represif, bukan berarti pendekatan humanis diabaikan. Dalam beberapa kasus, seperti penipuan dan penggelapan yang berkaitan dengan tindak pidana 3C, aparat juga mengedepankan prinsip restorative justice. Penyelesaian perkara melalui mekanisme ini memungkinkan adanya pemulihan hubungan sosial antara pelaku dan korban, terutama jika sudah tercipta rasa keadilan bagi pihak yang dirugikan.

Kebijakan restorative justice sejalan dengan tujuan hukum yang tidak hanya menekankan pada penghukuman, tetapi juga mencari solusi yang adil dan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan cara ini, aparat berusaha menyeimbangkan antara penegakan hukum yang tegas dan pendekatan yang lebih manusiawi sesuai kebutuhan kasus.

Keberhasilan implementasi kebijakan penegakan hukum 3C tidak bisa dilepaskan dari dukungan masyarakat. Polisi memerlukan kepercayaan publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan efektif. Ketika masyarakat percaya kepada aparat, mereka lebih terbuka melaporkan tindak pidana, memberikan informasi, dan bahkan ikut terlibat dalam menjaga keamanan lingkungannya.

Sebaliknya, tanpa dukungan masyarakat, penegakan hukum akan sulit dijalankan. Polisi mungkin memiliki aturan dan wewenang, tetapi jika tidak didukung rasa legitimasi dari warga, hasilnya tidak maksimal. Oleh karena itu, membangun kepercayaan publik menjadi strategi penting dalam implementasi kebijakan 3C. Dengan adanya sinergi, masyarakat bukan hanya objek perlindungan hukum, melainkan juga mitra aktif dalam upaya memberantas kejahatan jalanan.

Tantangan dan Dinamika Implementasi Kebijakan 3C

Dalam praktiknya, penegakan hukum terhadap tindak pidana 3C menghadapi berbagai tantangan. Tidak jarang pelaku melawan aparat atau bahkan melakukan tindak kekerasan berulang kali, sehingga memaksa polisi mengambil tindakan tegas. Di sisi lain, aparat juga harus tetap menjaga profesionalitas agar tindakan yang diambil tetap berada dalam koridor hukum.

Selain itu, keterbatasan sumber daya aparat membuat kerja sama dengan masyarakat menjadi kunci utama. Implementasi kebijakan seperti penggunaan peta kriminalitas dan data lokasi kejadian perkara dapat membantu aparat memetakan pola kejahatan. Namun, keberhasilan strategi ini tetap bergantung pada sejauh mana masyarakat mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum.

Tantangan lainnya adalah bagaimana menjaga konsistensi kebijakan agar tidak hanya berjalan di atas kertas. Dukungan dari pimpinan kepolisian menjadi faktor penting karena tanpa dorongan dan penekanan dari atasan, kebijakan yang sudah dirumuskan tidak akan berjalan efektif di lapangan.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana 3C di Indonesia merupakan bagian penting dari upaya menjaga keamanan publik. Implementasi kebijakan telah mengacu pada peraturan perundang-undangan dan instruksi pimpinan kepolisian. Prinsip tindakan tegas dan terukur tetap menjadi pijakan utama, terutama bila pelaku membahayakan korban maupun aparat.

Namun, kebijakan penegakan hukum 3C tidak hanya berorientasi pada pendekatan represif. Dalam kasus tertentu, mekanisme restorative justice digunakan untuk mewujudkan keadilan yang lebih bermanfaat bagi korban. Kepercayaan publik juga menjadi faktor penentu keberhasilan kebijakan, sebab dukungan masyarakat memungkinkan polisi bekerja lebih efektif.

Tantangan dalam implementasi kebijakan 3C memang masih ada, mulai dari perlawanan pelaku hingga keterbatasan aparat. Meski begitu, dengan konsistensi kebijakan, tindakan tegas, serta kerja sama dengan masyarakat, penegakan hukum terhadap tindak pidana 3C dapat berjalan sesuai tujuan, yakni melindungi masyarakat dan menekan angka kriminalitas jalanan.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close