Fokus Kajian

Menanti Lahirnya Pengadilan Perdata Khusus Medis di Indonesia



Dalam gelombang transformasi hukum kesehatan yang terus bergulir, Indonesia baru saja menandai langkah penting dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disusul dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Di tengah gempuran perubahan ini, terbit satu gagasan yang tak hanya relevan, tapi juga mendesak: perlunya dibentuk Pengadilan Perdata Khusus Medis. Ini bukan hanya tentang menciptakan lembaga baru, tetapi tentang menanamkan harapan bahwa sengketa medis bisa diselesaikan dengan lebih adil, lebih cepat, dan lebih memahami kompleksitas dunia kedokteran.

Sengketa medis tidak sama dengan sengketa jual-beli. Dalam dunia praktik kesehatan, yang dipertaruhkan bukan sekadar hak ekonomi atau kerugian material, melainkan nyawa, rasa sakit, dan ketidakpastian psikologis. Relasi antara dokter dan pasien dibangun atas dasar kepercayaan, bukan semata kontrak. Namun ironisnya, dalam sistem hukum kita saat ini, relasi itu kerap disandingkan dan diadili dengan norma-norma KUHPer yang rigid dan tidak responsif terhadap nuansa etik dan profesionalisme medis.

Harapan akan lahirnya pengadilan perdata khusus medis sesungguhnya bukan semata desakan dari realitas hukum nasional, tetapi juga gema dari praktik global. Di Amerika Serikat, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis, telah lebih dulu ada lembaga-lembaga pengadilan khusus yang memungkinkan penyelesaian perkara medis dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan manusiawi. Hakim yang memahami terminologi medis, proses litigasi yang efisien, dan semangat mediasi yang mengedepankan dialog—semuanya adalah bentuk keberpihakan pada keadilan yang lebih substantif.

Di Indonesia, kita telah memiliki instrumen seperti Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), MKEK, dan lembaga aduan lain. Namun dengan hadirnya UU Kesehatan 2023, seluruh mekanisme itu kini disentralisasi melalui Majelis Disiplin Profesi Kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan. Di titik ini, harapan baru muncul bahwa sistem rujukan profesional sebelum ke pengadilan umum akan menjadi semacam gatekeeper untuk menyaring mana yang perlu diselesaikan secara etik, dan mana yang layak dilanjutkan ke ranah hukum perdata atau pidana.

Namun demikian, harapan akan sistem pengadilan khusus tidak akan menjadi nyata hanya dengan menunggu regulasi turun. Ia harus diperjuangkan melalui advokasi hukum, kajian akademik, dan kemauan politik yang berani. Para pemangku kepentingan, baik dari dunia kesehatan, hukum, maupun pembuat kebijakan, harus duduk bersama untuk mendesain lembaga ini secara bijak: yang tidak sekadar memindahkan beban dari satu pengadilan ke pengadilan lain, tapi benar-benar menjawab kerumitan hubungan dokter dan pasien yang tidak bisa dikerdilkan hanya dengan teori kontraktual.

Kami percaya bahwa ketika dokter melakukan kesalahan, ia tetaplah manusia yang punya itikad menyembuhkan. Dan ketika pasien merasa dirugikan, ia bukan sedang berburu kompensasi, melainkan sedang mencari pengakuan akan rasa sakitnya. Oleh karena itu, hanya pengadilan yang memahami keduanya yang layak mengadili perkara seperti ini.

Dengan semangat itu, kami berharap Pengadilan Perdata Khusus Medis dapat hadir bukan sebagai simbol administratif belaka, tapi sebagai harapan yang sungguh: bahwa hukum tidak akan abai terhadap kompleksitas medis, dan bahwa keadilan dapat benar-benar dirasakan, bukan hanya oleh akal, tetapi juga oleh hati.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close