![]() |
sumber:pexels |
Tanah merupakan salah satu kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Hampir semua aspek kehidupan berhubungan dengan tanah, baik sebagai tempat tinggal, sarana bercocok tanam, ruang usaha, maupun lahan industri. Di Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris, tanah punya posisi yang sangat strategis dalam mendukung kehidupan masyarakat. Tidak heran jika persoalan pertanahan sering kali menjadi isu krusial. Berbagai masalah muncul, seperti ketidakmerataan kepemilikan, penguasaan tanah tanpa izin, hingga konflik yang berhubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa keberadaan politik hukum nasional dalam bidang pertanahan menjadi sangat penting, khususnya dalam mengatur hak atas tanah agar pemanfaatannya adil dan tidak merugikan masyarakat.
Jika melihat konstitusi, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sudah jelas menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip ini menjadi dasar utama lahirnya kebijakan hukum di bidang pertanahan. Salah satu instrumen penting adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau yang dikenal dengan UUPA. Kehadiran UUPA merupakan tonggak lahirnya hukum agraria nasional yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. Di dalamnya termuat tujuan penting, yaitu membangun kemakmuran rakyat, menyatukan sistem hukum pertanahan, dan memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah. Meskipun negara tidak berposisi sebagai pemilik tanah, kewenangan negara dalam mengatur penggunaan dan penguasaan tanah sering kali membuatnya seolah menjadi pemilik.
Hak Atas Tanah dalam Sistem Hukum Nasional
Dalam kerangka hukum nasional, hak atas tanah memiliki hierarki tertentu sebagaimana diatur dalam UUPA. Pertama, ada hak bangsa Indonesia yang sifatnya abadi, di mana seluruh tanah dalam wilayah Republik Indonesia adalah milik bangsa secara kolektif. Kedua, hak menguasai negara yang memberi wewenang untuk mengatur peruntukan, penggunaan, serta hubungan hukum terkait tanah. Ketiga, hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat secara turun-temurun, sebagai bentuk pengakuan terhadap kearifan lokal. Keempat, hak individual yang mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Dari sini terlihat bahwa sistem hukum nasional berusaha menyeimbangkan antara kepentingan kolektif, kewenangan negara, dan hak-hak individu.
Hak milik, misalnya, hanya bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia, sementara badan hukum tertentu diperbolehkan dengan syarat khusus. Selain itu, ada pula hak-hak sementara seperti bagi hasil atau gadai tanah yang keberadaannya hanya diakui dalam waktu tertentu. Pembatasan ini dibuat agar hak atas tanah tidak hanya berorientasi pada keuntungan pribadi, tetapi juga tetap memperhatikan fungsi sosial yang lebih luas.
Salah satu ciri khas hak atas tanah dalam politik hukum nasional adalah adanya fungsi sosial. Artinya, hak yang dimiliki seseorang tidaklah absolut, melainkan harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Pemilik tanah berkewajiban menjaga kesuburan, memelihara lingkungan, serta mencegah tanah agar tidak menjadi lahan terlantar. Hal ini sejalan dengan upaya pemerataan akses terhadap tanah, sehingga tidak terjadi pemusatan kepemilikan pada kelompok tertentu saja.
Kebijakan landreform yang dimuat dalam UUPA menjadi salah satu wujud nyata dari semangat fungsi sosial ini. Melalui pembatasan luas kepemilikan tanah, larangan terhadap tanah absentee (tanah yang dimiliki di luar domisili pemilik), serta ketentuan agar tanah benar-benar diusahakan, pemerintah berupaya mewujudkan keadilan sosial, khususnya bagi petani. Tidak hanya itu, untuk menjamin kepastian hukum, dilakukan pula pendaftaran tanah secara menyeluruh. Semua kebijakan ini memperlihatkan bahwa politik hukum pertanahan di Indonesia memang diarahkan untuk melindungi rakyat kecil, terutama golongan ekonomi lemah yang sangat bergantung pada tanah sebagai sumber penghidupan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hak atas tanah menempati posisi penting dalam politik hukum nasional. Berlandaskan pada UUD 1945 dan UUPA 1960, negara diberi kewenangan untuk mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah, dengan tujuan utama sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak atas tanah yang diakui dalam hukum nasional tidak hanya meliputi kepentingan individu, tetapi juga mengakomodasi kepentingan masyarakat adat dan fungsi sosial tanah itu sendiri.
Prinsip bahwa hak atas tanah harus memberi manfaat bagi masyarakat luas menjadi semangat yang terus ditekankan. Dengan begitu, politik hukum pertanahan tidak hanya sekadar urusan administratif, melainkan bagian dari upaya negara untuk menghadirkan keadilan sosial. Harapannya, dengan konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan pertanahan, Indonesia dapat membangun sistem hukum agraria yang semakin berpihak pada kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang hidup dari hasil pertanian dan pemanfaatan tanah secara langsung.
0 Komentar