Akhir-akhir ini pengibaran bendera bergambar tengkorak dari serial anime One Piece menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80 telah menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Tindakan ini menjadi isu hangat di media dan di berbagai platform sosial. Meskipun tampaknya dilakukan dengan niat baik atau semata 'rame-rame', tindakan ini memunculkan berbagai pandangan yang perlu dicermati lebih lanjut, baik dari perspektif hukum, sosial, maupun politik
Dalam konteks pengibaran bendera One Piece perlu untuk mempelajari aturan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, yang menjadi acuan utama terkait pengibaran bendera di Indonesia. Pasal 66 Undang-undang ini mengatur tentang larangan merendahkan atau merusak bendera negara, yang meliputi tindakan membakar, merobek, atau menurunkan bendera Merah Putih tanpa alasan yang sah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda sebesar Rp200 juta. Pasal 67 lebih lanjut menjelaskan bahwa penggunaan bendera negara untuk tujuan komersial atau sebagai alat iklan juga dilarang dan dapat dikenakan denda maksimal Rp10 juta.
Dari kacamata hukum pidana, kita mengenal asas legalitas. adagium "nullum crimen sine lege" berlaku mutlak bahwa tidak ada perbuatan yang bisa dipidana tanpa adanya ketentuan hukum yang tertulis. Sampai saat ini, tidak ada regulasi yang secara eksplisit menyebutkan bahwa mengibarkan bendera non-negara adalah tindak pidana. Bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1958 yang dulu sempat melarang pengibaran bendera negara asing, dibuat dalam konteks menjaga ketertiban umum pasca-kemerdekaan, dan tidak relevan untuk diterapkan pada bendera fiksi dari karya hiburan populer.
Namun, perlu kita catat bahwa pengibaran bendera selain bendera negara, seperti halnya bendera One Piece selama ia tidak digunakan untuk merendahkan atau menggantikan posisi bendera Merah Putih. Dalam hal ini, bendera One Piece hanya bisa dianggap melanggar hukum apabila posisinya lebih tinggi atau lebih besar daripada bendera Merah Putih, atau jika penggunaannya dimaksudkan untuk merendahkan simbol negara. Oleh karena itu, selama bendera Merah Putih tetap berada pada posisi yang lebih tinggi dan tidak ada niat untuk menggantikan atau merendahkan martabat bendera negara, sebagaimana pengibaran bendera lain juga tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran menurut Undang-undang ini.
Jika pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk kebebasan berekspresi maka hal ini harus disikapi dengan hati-hati. Sebagai negara demokratis, Indonesia memberikan ruang bagi warganya untuk mengemukakan pendapat melalui berbagai cara, termasuk dalam bentuk simbolik. Hal ini sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan untuk menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun simbolik ekspresif. Oleh karena itu, pengibaran bendera One Piece bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi sosial yang sah, yang mencerminkan rasa tidak puas terhadap situasi yang ada.
Dalam pandangan lain meskipun secara eksplisit aksi ini tidak melanggar hukum hal ini tetap menyentuh isu yang lebih sensitif yaitu terkait penghormatan terhadap simbol negara. Bendera Merah Putih adalah simbol kemerdekaan dan kehormatan bangsa, yang harus dijaga martabatnya oleh seluruh warga negara. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengibaran bendera One Piece di momen yang penuh makna seperti Hari Kemerdekaan bisa dianggap sebagai tindakan yang merendahkan simbol negara. Tentu, dalam hal ini, penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol negara yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang mendalam.
Pemerintah, dalam hal ini, memiliki tugas untuk memastikan bahwa simbol negara dihormati oleh semua pihak. Meski demikian, reaksi pemerintah terhadap aksi ini perlu diperhatikan. Menggunakan pendekatan hukum atau ancaman pidana bisa dianggap berlebihan jika tidak diimbangi dengan dialog terbuka yang bisa menjelaskan mengapa penghormatan terhadap bendera negara sangat penting. Sebagai masyarakat yang demokratis, kritik terhadap kebijakan pemerintah seharusnya dipandang sebagai hal yang wajar dan perlu direspon dengan cara yang konstruktif. Tindakan represif atau pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat berisiko menciptakan ketegangan sosial yang tidak perlu.
Aksi pengibaran bendera One Piece telah mengundang perhatian yang luas dan menggugah diskusi tentang kebebasan berekspresi serta penghormatan terhadap simbol negara. Di satu sisi, pengibaran bendera ini mencerminkan kebebasan yang dijamin oleh konstitusi, namun di sisi lain, kita juga harus memastikan bahwa simbol negara tetap dihormati. Tindakan seperti ini seharusnya dapat dipandang sebagai bentuk kritik sosial yang sah, bukan sebagai ancaman terhadap negara. Bagaimanpun harus diakui bahwa fenomena ini menjadi bentuk edukasi hukum tersendiri kepada khalayak masyarakat sekaligus refleksi bagi pemangku kebijakan.
Sebagai Insan Hukum sekali lagi kita perlu memahami kedua sisi isu ini dengan bijaksana. Kebebasan berpendapat adalah bagian dari hak kita sebagai warga negara, namun kita juga harus memastikan bahwa dalam melaksanakan kebebasan itu kita tidak pernah ada nita untuk merendahkan simbol-simbol yang menjadi lambang kehormatan negara. Dialog dan pemahaman bersama menjadi kunci dalam merespons setiap perbedaan pendapat yang muncul, terutama dalam konteks peringatan besar seperti Hari Kemerdekaan Indonesia.
0 Komentar