Fokus Kajian

Meneguhkan Negara Hukum Pancasila dan Demokrasi dalam Menjamin Hak Asasi Manusia


Gagasan mengenai negara hukum dan demokrasi selalu menjadi fondasi utama dalam diskursus pembangunan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, tidak dapat dimungkiri bahwa konsep tersebut memiliki nuansa dan akar tersendiri, yang tidak sepenuhnya dapat disamakan dengan model rechtsstaat dari tradisi Eropa Kontinental maupun rule of law ala Anglo-Saxon. Indonesia memilih pendekatannya sendiri: negara hukum Pancasila, sebuah konsep yang berakar pada nilai-nilai luhur, kultural, dan spiritual bangsa.

Negara hukum Pancasila menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial. Hukum tidak diposisikan semata sebagai mekanisme pengendali kekuasaan, tetapi juga sebagai instrumen pelayanan publik dan penghormatan terhadap martabat manusia. Di dalam kerangka ini, hak asasi manusia (HAM) dipandang bukan sebagai konsep legalistik yang berdiri sendiri, melainkan inheren dalam seluruh prinsip dasar kehidupan bernegara.

Negara Hukum Pancasila: Ruang Lingkup dan Tantangannya

Sebagai negara hukum, Indonesia menjadikan konstitusi sebagai sumber legitimasi tertinggi. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun yang membedakan adalah, negara hukum yang dimaksud bukanlah hasil adopsi utuh dari konsep Barat, melainkan pengembangan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila tidak hanya berperan sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai norma fundamental (grundnorm) yang mengatur semua cabang hukum, termasuk hukum hak asasi manusia.

Penerjemahan nilai Pancasila ke dalam sistem hukum menjadi sangat penting, karena di sinilah letak keunikan sekaligus tantangan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, mengandung pengakuan terhadap kebebasan beragama, tetapi dengan penafsiran positif—yang tidak memberi ruang bagi ekspresi ateisme atau ideologi antiagama. Ini tentu berbeda dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Belanda yang mengakui kebebasan beragama termasuk dalam bentuk ateisme. Dalam konteks inilah muncul ketegangan antara prinsip universal HAM dan nilai partikular kultural-religius Indonesia.

Namun di sisi lain, karakter negara hukum Pancasila memberikan keunggulan tersendiri. Ia memadukan antara kepentingan individu dan kolektif, antara hak dan tanggung jawab, antara kebebasan dan etika sosial. Di sinilah letak perlunya sistem hukum yang dinamis dan mampu menyeimbangkan antara universalitas HAM dan keunikan lokal.

Demokrasi Pancasila dan Dimensi HAM

Prinsip demokrasi dalam konteks Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Demokrasi yang dianut bukan demokrasi liberal, tetapi demokrasi Pancasila yang menekankan musyawarah, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab sosial. Demokrasi Pancasila memosisikan HAM sebagai syarat sekaligus tujuan. Tanpa perlindungan HAM, demokrasi akan kehilangan makna substantifnya.

Sayangnya, dalam praktik bernegara, relasi antara demokrasi dan HAM sering kali tidak berjalan harmonis. Sejarah mencatat bahwa pada masa Orde Baru, demokrasi formal digunakan untuk menopang kekuasaan otoriter yang justru melanggar HAM secara sistematis. Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Tragedi Trisakti, Tanjung Priok, Talangsari, hingga pelanggaran di Aceh dan Papua menunjukkan bagaimana absennya perlindungan HAM dalam sistem politik yang otoriter meskipun diklaim demokratis.

Pengalaman masa lalu itu mengajarkan bahwa demokrasi tanpa penghormatan terhadap HAM hanya akan menjadi legitimasi kekuasaan represif. Sebaliknya, HAM yang tidak berakar dalam budaya dan nilai lokal akan kehilangan daya sosialnya. Maka, penting kiranya meneguhkan kembali demokrasi yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi martabat manusia, keadilan sosial, dan keberagaman.

Pilar Sistem Hukum: Substansi, Struktur, dan Kultur

Dalam membangun sistem hukum yang mampu melindungi HAM secara efektif, pendekatan yang digunakan harus menyeluruh. Teori sistem hukum dari Lawrence Friedman memberi kerangka kerja yang tepat: substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum.

  1. Substansi hukum telah berkembang pesat pasca reformasi. UUD 1945 hasil amandemen telah menambahkan 17 pasal yang secara eksplisit mengatur HAM. Undang-undang seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memperkuat landasan legal bagi perlindungan hak warga negara.

  2. Struktur hukum juga telah diperkuat dengan hadirnya lembaga-lembaga penegak HAM, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Mahkamah Konstitusi. Namun tantangan utama masih terletak pada efektivitas kerja lembaga tersebut dalam menghadapi hambatan politik, keterbatasan kewenangan, dan kadang kala minimnya kepercayaan publik.

  3. Kultur hukum, aspek yang paling sulit diubah, mencerminkan sejauh mana masyarakat dan aparat penegak hukum memiliki kesadaran dan komitmen terhadap HAM. Rendahnya budaya hukum dalam masyarakat dan praktik diskriminasi yang masih marak menunjukkan bahwa pendidikan hukum dan penguatan etika publik adalah pekerjaan jangka panjang yang mendesak.

Menatap ke Depan: Peneguhan Komitmen HAM dalam Negara Demokrasi Pancasila

Melihat kompleksitas persoalan yang ada, menjadi penting untuk meneguhkan kembali komitmen terhadap HAM dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki kerangka hukum yang cukup kuat, namun masih menghadapi tantangan dalam implementasinya. Tantangan ini bukan hanya teknis, melainkan juga bersifat kultural dan struktural.

Negara hukum dan demokrasi Pancasila harus terus diperjuangkan bukan sebagai slogan normatif, tetapi sebagai sistem yang hidup dan bekerja nyata. Hukum harus menjadi pelindung, bukan penindas. Demokrasi harus membuka ruang partisipasi, bukan alat untuk mengamankan kekuasaan. Dan HAM harus menjadi panglima moral dalam setiap kebijakan publik.

Di sinilah letak urgensi menyinergikan kembali hukum, demokrasi, dan HAM dalam kerangka Pancasila secara utuh. Reformasi hukum harus dilanjutkan dengan menyentuh akar-akar budaya, memperkuat kelembagaan, dan mengubah paradigma penegakan hukum dari yang bersifat elitis menjadi responsif terhadap kebutuhan rakyat.



0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close