Manusia itu pada dasarnya makhluk budaya, jadi tiap orang pasti punya latar belakang sosial yang membentuk cara pandang mereka terhadap hal-hal seperti peran laki-laki dan perempuan. Masalah muncul ketika perbedaan ini menimbulkan ketidakadilan. Konsep kesetaraan itu bukan berarti semua orang diperlakukan sama persis, tapi diperlakukan secara adil sesuai dengan konteks perbedaan masing-masing.
Kesetaraan itu bisa dilihat dari berbagai level. Dari yang paling dasar seperti penghargaan atas hak hidup, sampai ke hal-hal yang lebih tinggi seperti kekuasaan dan kesejahteraan. Dalam masyarakat majemuk, kesetaraan berarti harus peka terhadap perbedaan, dan tidak boleh menyamaratakan cara pandang atau perlakuan.
Multikulturalisme pada dasarnya adalah cara pandang yang menghargai keberagaman budaya dalam masyarakat. Tapi konsep ini tidak sesederhana kelihatannya. Menurut beberapa ahli, multikulturalisme itu bukan cuma soal menerima bahwa ada banyak budaya, tapi juga soal bagaimana masing-masing budaya bisa saling menghormati dan hidup berdampingan.
Misalnya menurut Lawrence Blum, multikulturalisme itu artinya kita bukan cuma menghargai budaya sendiri, tapi juga terbuka untuk memahami budaya orang lain. Sedangkan menurut H.A.R. Tilaar, multikulturalisme harus dipahami sebagai kekuatan yang bisa digunakan untuk menghadapi tantangan masa depan, bukan sekadar slogan.
Multikulturalisme tidak berarti semua budaya itu setara dalam segala hal, melainkan memberikan ruang yang adil untuk masing-masing budaya mengekspresikan diri. Itulah kenapa pendidikan multikultural penting, karena lewat pendidikanlah nilai-nilai saling menghargai bisa ditanamkan sejak dini.
Ada beberapa bentuk multikulturalisme yang bisa dilihat, mulai dari yang paling kaku (isolasionis) sampai yang paling terbuka (kosmopolitan). Semuanya menggambarkan bagaimana masyarakat menanggapi keberagaman—apakah dengan menoleransi, mengakomodasi, atau benar-benar merayakan perbedaan.
Contoh sederhana tapi menarik soal kesetaraan dan perbedaan bisa dilihat dari kasus sorban kaum Sikh di Inggris. Pada awalnya, pemerintah mewajibkan semua pengendara motor memakai helm demi keselamatan. Tapi komunitas Sikh menolak karena mereka wajib memakai sorban yang juga mereka anggap aman. Akhirnya, pemerintah mengubah aturan dan mengizinkan pengecualian.
Kasus ini menunjukkan bahwa kesetaraan tidak selalu berarti semua orang harus tunduk pada aturan yang sama, tapi aturan itu perlu disesuaikan dengan konteks budaya dan keyakinan. Di Kanada misalnya, aturan soal pakaian adat kaum Sikh malah menimbulkan konflik, yang memperlihatkan bahwa multikulturalisme tidak selalu diterima dengan mudah.
Hal serupa terjadi di Prancis dengan kasus jilbab. Banyak pro dan kontra terkait larangan memakai jilbab di ruang publik. Padahal, memakai jilbab bagi sebagian perempuan Muslim adalah bagian dari identitas dan keyakinan. Jadi, ketika negara melarangnya, itu bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi jika tidak ada alasan yang jelas.
Kalau kita bicara tentang gender, kita mesti bedakan dulu antara gender dan jenis kelamin. Jenis kelamin itu soal biologis—laki-laki atau perempuan—tapi gender itu lebih ke peran sosial dan budaya yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan. Jadi, ketika masyarakat punya pandangan bahwa laki-laki harus jadi pemimpin dan perempuan harus di rumah, itu bukan persoalan kodrat, tapi hasil konstruksi budaya.
Sayangnya, cara pandang seperti itu sudah terlanjur mengakar di masyarakat kita yang patriarkis. Akibatnya, perempuan sering dianggap lebih rendah daripada laki-laki, baik di rumah, di tempat kerja, maupun di ruang publik. Fenomena seperti ini memunculkan berbagai masalah, mulai dari diskriminasi, kekerasan, beban ganda, hingga hilangnya akses perempuan terhadap pendidikan dan posisi strategis.
Gerakan feminis di Barat, terutama di Amerika, juga lahir dari persoalan semacam ini. Mereka merasa perempuan tidak mendapat hak yang sama dalam hal sipil, ekonomi, dan sosial. Multikulturalisme kemudian dianggap sebagai jalan untuk mendobrak dominasi satu kelompok atas kelompok lain.
Di sisi lain, sebagian orang menyalahkan agama sebagai sumber ketidakadilan gender. Ada yang bilang teks-teks agama seperti Al-Qur’an bias gender. Tapi sebenarnya yang lebih tepat adalah bagaimana teks itu ditafsirkan. Interpretasi yang sempit dan tekstual bisa melahirkan diskriminasi, tapi penafsiran yang kontekstual dan terbuka bisa jadi sebaliknya—justru mendukung kesetaraan.
Menurut Mansour Fakih, ada lima bentuk ketidakadilan gender yang sering dialami perempuan: marginalisasi (terpinggirkannya perempuan dalam ekonomi), subordinasi (dianggap lebih rendah dalam pengambilan keputusan), stereotype (pelabelan negatif), kekerasan (fisik maupun verbal), dan beban ganda (mengurus rumah tangga dan bekerja di luar).
Semua ini bukan cuma isu personal, tapi juga masalah struktural. Ketika kebijakan dibuat tanpa melibatkan perempuan, atau pendidikan tidak memberikan ruang yang setara, maka diskriminasi itu semakin menguat. Perempuan akhirnya kesulitan untuk berkembang, baik secara ekonomi, sosial, maupun intelektual.
Multikulturalisme adalah konsep yang sangat penting untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia. Tapi dalam pelaksanaannya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam hal kesetaraan gender. Ketegangan antara prinsip kesetaraan dan pengakuan perbedaan harus diselesaikan dengan bijak. Salah satunya dengan memastikan bahwa perbedaan budaya tidak dijadikan alasan untuk menindas atau mendiskriminasi pihak tertentu, terutama perempuan.
Kesetaraan gender dalam masyarakat multikultural bukan hanya soal hukum dan kebijakan, tapi juga soal kesadaran bersama. Masyarakat harus belajar untuk terbuka, menghargai perbedaan, dan tidak menjadikan tradisi atau agama sebagai dalih untuk melanggengkan ketidakadilan.
0 Komentar