Fokus Kajian

Legislasi Hukum Islam: Dari Fiqh ke Undang-Undang di Indonesia


Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara yang menjadikan Islam sebagai negara resmi. Indonesia mengadopsi sistem hukum demokratis yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, hukum yang berlaku di Indonesia bukanlah hukum agama, tetapi hukum yang disusun dalam bentuk undang-undang.

Meskipun demikian, hukum Islam telah diterapkan dalam masyarakat sejak lama, meskipun tidak dalam bentuk yang tertulis secara resmi. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kompleksitas kebutuhan hukum, hukum Islam mulai diterima dalam sistem hukum nasional, khususnya dalam bentuk undang-undang dan peraturan. Proses ini dikenal dengan istilah taqnīn al-ahkām, yang berarti kodifikasi hukum Islam menjadi aturan negara yang berlaku dan mengikat secara resmi.

Secara sederhana, taqnīn al-ahkām merujuk pada proses mengubah hukum Islam yang awalnya hanya berupa praktik sosial (living law) menjadi hukum negara yang resmi (legal law) dalam bentuk undang-undang. Dalam bahasa Arab, kata "taqnīn" berasal dari kata "qānūn" yang berarti aturan atau hukum, sementara "al-ahkām" berarti hukum atau ketentuan.

Taqnīn al-ahkām adalah sebuah proses untuk mengumpulkan berbagai aspek hukum Islam yang berkaitan dengan urusan sosial dan publik, kemudian menyusunnya dalam bentuk pasal-pasal undang-undang. Hukum yang telah dikodifikasi ini akan menjadi pedoman resmi bagi hakim dan aparat hukum lainnya dalam menangani perkara-perkara hukum.

Beberapa orientalis Barat berpendapat bahwa konsep taqnīn ini meniru tradisi hukum Romawi. Namun, banyak ulama Muslim yang membantah hal ini, karena hukum Islam bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Hadis), bukan berasal dari hukum manusia seperti dalam tradisi hukum Barat.

Jika melihat ke masa lalu, hukum Islam sudah diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, meski belum dalam bentuk undang-undang seperti saat ini. Salah satu contohnya adalah Piagam Madinah, yang mengatur hubungan antara umat Muslim dan non-Muslim di Madinah. Piagam ini bisa dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Islam.

Setelah wafatnya Nabi, para sahabat mulai mengumpulkan wahyu dalam bentuk mushaf al-Qur’an. Namun, gagasan untuk mengkodifikasi hukum secara sistematis baru muncul pada masa Abbasiyah, saat Abdullah bin Muqaffa’ mengusulkan agar pendapat ulama disatukan dan dijadikan hukum resmi. Sayangnya, usulan tersebut tidak diterima.

Perkembangan signifikan dalam hal ini terjadi pada masa Utsmani, ketika Sultan Sulaiman membuat Qanun Name yang mencakup berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata, pidana, dan hukum perang. Di India, Dinasti Mughal juga menyusun Fatawa Alamgiriyyah sebagai bentuk kodifikasi hukum Islam.

Di Indonesia, hukum Islam sudah diterapkan sejak zaman kerajaan Islam seperti Mataram dan Samudera Pasai. Namun, pengakuan hukum Islam secara formal dimulai pada masa kolonial Belanda dalam bentuk Compendium Freijer—sebuah kumpulan hukum Islam yang diterapkan di daerah tertentu. Setelah Indonesia merdeka, hukum Islam perlahan mulai diterima dalam sistem hukum nasional melalui sejumlah undang-undang dan kebijakan resmi.

Terkait dengan kodifikasi hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beberapa mendukung (pro-taqnīn), sementara yang lain menentang (kontra-taqnīn).

Kelompok yang menentang umumnya berasal dari ulama klasik dan beberapa ulama Saudi kontemporer. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam harus tetap fleksibel dan tidak dibatasi oleh aturan undang-undang yang dapat menghambat ijtihad hakim. Ada juga kekhawatiran bahwa undang-undang dapat membuat hakim enggan menggali hukum dari sumber asli seperti al-Qur’an dan Hadis.

Sebaliknya, ulama yang mendukung taqnīn menganggap proses ini penting untuk menjamin keadilan dan keseragaman dalam putusan hukum. Dengan adanya undang-undang, masyarakat dapat mengetahui hukum yang berlaku, dan hakim pun memiliki pedoman dalam mengambil keputusan. Mengingat saat ini, sangat sedikit hakim yang benar-benar bisa berijtihad sendiri, maka taqnīn dianggap sebagai solusi yang realistis.

Di Indonesia, hukum Islam mulai masuk ke dalam sistem hukum nasional melalui berbagai peraturan, seperti UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Wakaf, UU Haji, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Semua ini merupakan bentuk taqnīn, yaitu perubahan fiqh menjadi undang-undang.

Proses legislasi ini harus melalui mekanisme Prolegnas (Program Legislasi Nasional), yaitu daftar prioritas rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan DPR. Sebelum dimasukkan dalam Prolegnas, undang-undang tersebut umumnya dibahas terlebih dahulu secara akademik agar benar-benar matang dan sesuai dengan konteks sosial dan politik saat ini.

Selain melalui undang-undang nasional, beberapa daerah juga menerapkan hukum Islam dalam bentuk Perda Syariah. Meskipun sering kali menemui tantangan, proses ini menunjukkan bahwa hukum Islam tetap memiliki tempat dalam sistem hukum Indonesia, asalkan menghormati keragaman agama dan budaya yang ada.

Taqnīn al-ahkām atau kodifikasi hukum Islam bukan hanya soal mentransformasi fiqh menjadi undang-undang, tetapi juga tentang upaya untuk menjembatani nilai-nilai syariah dengan sistem hukum nasional. Meskipun tidak semua ulama setuju, proses ini tetap berjalan di Indonesia dengan pendekatan yang kontekstual dan bertahap.

Sebagai negara hukum yang bukan negara agama, Indonesia tetap memberikan ruang bagi umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya, termasuk dalam bidang hukum. Justru karena Indonesia bukan negara Islam, upaya legislasi hukum Islam harus dilakukan secara demokratis, melalui lembaga resmi seperti DPR dan pemerintah, dan bukan melalui paksaan.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close