Fokus Kajian

Konsepsi Teori Pada Perkembangan Hukum Administrasi Negara

 Administrasi negara pada dasarnya mempelajari bagaimana orang bekerja sama dalam kerangka pemerintahan untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang sifatnya pribadi (privat) maupun untuk kepentingan masyarakat (publik). Sejak zaman dulu, kerja sama ini sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Bedanya, administrasi privat atau niaga berfokus pada tujuan pribadi atau bisnis, sementara administrasi publik diarahkan untuk kepentingan masyarakat luas. Prinsip, teori, dan konsep yang digunakan sebenarnya sama-sama berasal dari ilmu administrasi, hanya saja penerapannya menyesuaikan kebutuhan masing-masing sektor.

Tujuan utama administrasi adalah mencapai sasaran yang sudah direncanakan secara efektif dan efisien. Efektivitas berarti tujuan tercapai sesuai rencana, sementara efisiensi berarti penggunaan sumber daya baik tenaga, waktu, maupun biaya dilakukan sehemat mungkin. Dalam konteks ini, administrasi negara tidak hanya berbicara soal menjalankan pekerjaan rutin, tetapi juga bagaimana mengatur strategi, mengelola sumber daya, dan membangun sistem yang bisa melayani kepentingan publik secara optimal.

Para ahli punya pandangan yang beragam soal definisi administrasi. Ada yang melihatnya sebagai proses kerja sama, seperti Sondang P. Siagian dan The Liang Gie, yang menekankan pada rangkaian tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Ada pula yang memaknai administrasi sebagai tata usaha, yang berfokus pada pengaturan dokumen, pencatatan, dan korespondensi resmi seperti dijelaskan Munawardi Reksohadiprawiro dan G. Kartasapoetra. Sedangkan definisi administrasi negara lebih mengarah pada kegiatan pemerintah untuk mengendalikan dan mengatur kebijakan publik.

Pandangan ini kemudian terbagi menjadi dua pola pikir besar. Pertama, yang melihat administrasi negara hanya sebatas tugas eksekutif dalam menjalankan hukum dan kebijakan politik yang sudah ditetapkan. Kedua, yang melihat administrasi negara sebagai koordinasi lintas lembaga — eksekutif, legislatif, dan yudikatif — untuk melaksanakan kebijakan secara menyeluruh. Dalam perkembangannya, pemahaman yang lebih luas ini lebih diterima, karena kenyataannya administrasi negara mencakup banyak aspek yang saling berkaitan, tidak hanya eksekusi kebijakan.

Perkembangan Administrasi Negara di Indonesia

Perjalanan administrasi negara di Indonesia punya sejarah panjang. Pada masa penjajahan Belanda, administrasi lebih dimaknai secara sempit sebagai pekerjaan tulis-menulis atau clerical work, seperti pengarsipan, surat-menyurat, dan pencatatan. Pemahaman ini bahkan masih membekas hingga kini, terlihat dari penggunaan istilah “biaya administrasi” untuk hal-hal sederhana. Sebagai disiplin ilmu, administrasi negara belum berdiri sendiri dan masih bergabung dengan ilmu pemerintahan.

Pada masa pendudukan Jepang, meski berlangsung singkat, ada warisan administrasi yang bertahan hingga kini, seperti pembentukan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Jepang juga mulai memperkenalkan organisasi pertahanan sipil dan kursus ketataprajaan, walau tujuannya lebih untuk kepentingan kolonial.

Setelah kemerdekaan, administrasi negara mulai berkembang. Pada awalnya, ia masih dianggap bagian dari ilmu politik dan hukum, tapi pada awal 1950-an mulai dipandang sebagai disiplin ilmu tersendiri. Lembaga pendidikan seperti Sekolah Tinggi Pamong Praja di Malang (yang kemudian menjadi Institut Ilmu Pemerintahan) dan jurusan Usaha Negara di Universitas Gadjah Mada menjadi pionir dalam pengembangannya. Puncak perkembangan awalnya ditandai dengan berdirinya Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada 1957 atas prakarsa Perdana Menteri Ir. Djuanda.

Teori Administrasi Negara versi K. Bailey

K. Bailey, dalam kerangka teorinya, membagi administrasi negara menjadi empat jenis teori utama. Pertama, teori deskriptif-eksplanatif yang menjelaskan realitas administrasi secara abstrak dalam bentuk konsep atau proposisi. Contohnya, konsep hirarki dalam organisasi formal yang bisa berkembang menjadi model multi-hirarki dengan interaksi antarorganisasi. Teori ini menjawab pertanyaan “apa” dan “mengapa” suatu fenomena terjadi, termasuk hubungan antarvariabel yang kompleks.

Kedua, teori normatif yang berorientasi pada nilai dan tujuan yang ingin dicapai di masa depan. Teori ini menyarankan arah perubahan berdasarkan kriteria seperti efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, partisipasi, dan inovasi. Tantangannya, kriteria-kriteria ini kadang bertentangan — misalnya, efisiensi bisa mengorbankan pemerataan.

Ketiga, teori asumtif yang mendasari pandangan tentang sifat dasar manusia dalam organisasi. Contohnya teori X dan Y dari McGregor, yang menggambarkan dua pandangan ekstrem tentang perilaku pekerja: malas dan menghindari tanggung jawab (X) atau termotivasi dan mampu mengatur diri (Y).

Keempat, teori instrumental yang fokus pada strategi, teknik, dan alat untuk mencapai tujuan negara secara efektif dan efisien. Teori ini menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “kapan” langkah tertentu dijalankan, misalnya strategi desentralisasi untuk meningkatkan kinerja birokrasi.

Administrasi Negara versi Nicholas Henry

Nicholas Henry menjabarkan lima paradigma perkembangan administrasi negara. Paradigma pertama (1900–1926) adalah dikotomi politik-administrasi, yang memisahkan perumusan kebijakan (politik) dan pelaksanaannya (administrasi). Paradigma kedua (1927–1937) berfokus pada prinsip-prinsip administrasi yang dianggap berlaku universal tanpa memandang konteks budaya atau situasi.

Paradigma ketiga (1950–1970) mengakui keterkaitan erat antara politik dan administrasi, ibarat dua sisi mata uang. Administrasi negara dipandang sebagai bagian dari ilmu politik, terutama dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Paradigma keempat (1956–1970) memusatkan perhatian pada teori organisasi dan manajemen untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi.

Paradigma kelima (1970–sekarang) memandang administrasi negara sebagai disiplin tersendiri dengan fokus pada perilaku organisasi, teknologi manajemen, dan kepentingan publik. Pada tahap ini, administrasi negara tidak hanya bicara teori, tetapi juga penerapan praktis untuk memecahkan masalah publik.

Era New Public Management (NPM)

Memasuki 1980-an, terjadi perubahan besar di sektor publik Eropa dan Amerika. Model birokratis yang kaku digantikan oleh pendekatan yang lebih fleksibel dan mengakomodasi prinsip pasar. New Public Management (NPM) menekankan pada efisiensi, penilaian kinerja, dan persaingan, bukan sekadar prosedur administrasi. Konsep ini memunculkan kebijakan seperti pemangkasan biaya dan tender kompetitif.

NPM berimplikasi pada perubahan struktural dan personal di birokrasi. Pemerintah diarahkan untuk lebih fokus pada pengaturan dan pengawasan, sementara produksi layanan bisa dilimpahkan ke pihak swasta atau lembaga non-profit. Munculnya NPM juga dipicu oleh kritik publik terhadap birokrasi yang dianggap lamban, boros, dan menghambat pembangunan.

Konsep Reinventing Government

Osborne dan Gaebler (1992) memperkenalkan konsep reinventing government, yang menawarkan 10 prinsip pemerintahan masa depan. Di antaranya: pemerintahan katalis (mengatur, bukan memproduksi langsung), pemerintahan milik masyarakat (memberdayakan warga), kompetitif (mendorong persaingan untuk efisiensi), digerakkan oleh misi (bukan aturan semata), berorientasi hasil (membiayai output, bukan input), berorientasi pelanggan, wirausaha (mencari pendapatan), antisipatif (mencegah masalah), desentralisasi (mendorong partisipasi), dan berorientasi pada mekanisme pasar.

Prinsip-prinsip ini lahir dari kritik terhadap birokrasi lama yang dinilai tidak responsif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Namun, penerapannya membutuhkan kemauan politik yang kuat, dukungan masyarakat, dan perubahan mentalitas birokrasi. Tanpa itu, reinventing government hanya akan menjadi slogan.

Prinsip-Prinsip Good Governance

United Nations Development Programme mengidentifikasi sejumlah karakteristik good governance, antara lain:

1. Partisipasi warga, 

2. rule of law

3. Transparansi, 

4. Responsivitas, 

5. Orientasi konsensus, 

6. Keadilan (equity), 

7. Efektivitas dan efisiensi, 

8. Akuntabilitas, 

9.  visi strategis. 

Prinsip-prinsip ini menjadi acuan bagi negara untuk mengelola pemerintahan secara terbuka, adil, dan berorientasi pada kepentingan publik. Empat unsur utama yang sering ditekankan adalah akuntabilitas, kerangka hukum yang kuat, keterbukaan informasi, dan transparansi. Akuntabilitas menuntut pemerintah memberikan pertanggungjawaban yang jelas atas tindakan dan penggunaan sumber daya publik. Transparansi memastikan publik bisa mengakses informasi yang relevan. Rule of law menjamin bahwa hukum berlaku adil bagi semua warga. Sementara keterbukaan mendorong dialog dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close