Kalau kita berbicara gender, sebenarnya ini jauh berbeda dengan istilah "jenis kelamin". Jenis kelamin itu sesuatu yang bersifat biologis dan kodrati aliasi tidak bisa diubah, misalnya perbedaan alat kelamin, kemampuan reproduksi, atau ciri fisik tertentu seperti jakun pada laki-laki dan payudara pada perempuan. Sedangkan gender itu lebih ke konstruksi sosial dan budaya, sehingga sesuatu yang dibentuk masyarakat tentang peran, sifat, dan tanggung jawab laki-laki maupun perempuan itulah yang dinamakan gender. Misalnya, masyarakat sering menganggap perempuan itu lemah lembut, penyayang, dan sabar, sedangkan laki-laki harus tegas, kuat, dan berwibawa dan padanan lainnya.
Masalahnya, pembagian ini kadang terlalu kaku dan bahkan diperkuat lewat mitos turun temurun atau pembagian kerja yang didasarkan jenis kelamin. Contohnya, perempuan dianggap lebih cocok kuliah di jurusan sastra atau sosial, sedangkan laki-laki diarahkan ke jurusan teknik. Bahkan dalam keluarga dengan ekonomi terbatas, anak laki-laki sering diprioritaskan untuk sekolah, sementara anak perempuan diminta mengalah karena “ujung-ujungnya juga ke dapur.” Hal-hal sepereti ini jelas menciptakan ketidakadilan oleh karenanya tulisan-tulisan gender harus terus masif disebarkan demi menyadarkan banyak pihak khususnya di sentra desa dan perkampungan.
Konsep kesetaraan gender muncul bukan menyamakan perempuan dengan laki-laki dalam segala hal (karena kodrat biologis tetap berbeda), tapi memastikan akses dan kesempatan di semua bidang itu setara. Kesetaraan gender yang dipositivisasi dalam hukum artinya negara ikut ambil peran untuk menciptakan kebijakan yang memberi ruang setara bagi semua.
Kalau kita mau lebih detail, jenis kelamin itu murni pemberian Tuhan,perempuan bisa haid, hamil, dan menyusui, sementara laki-laki tidak demikian. Dalam pembahasan Gender, pemahaman ini berlaku sebaliknya, gender adalah buatan manusia dan bisa berubah tergantung budaya dan kebiasaan setempat. Oleh karenanya peran gender di satu daerah bisa beda dengan daerah lain, bahkan bisa berubah seiring waktu berjalan.
Misalnya, dulu perempuan dianggap tidak pantas atau bahkan tidak mampu memimpin atau jadi kepala desa, akan tetapi sekarang hal itu sudah mulai berubah di banyak tempat. Walaupun begitu, masih ada pandangan bias gender yang menganggap pekerjaan tertentu sudah “kodratnya” laki-laki atau perempuan. Sehingga pandangan seperti ini sering menciptakan pembatasan kesempatan di dunia kerja dan kehidupan sosial.
Selain itu, ada istilah-istilah yang sering dipakai dalam kajian gender, seperti:
-
Pengarusutamaan gender: strategi buat mencapai kesetaraan dengan memasukkan perspektif gender ke dalam kebijakan dan program.
-
Kesenjangan gender: ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan.
-
Patriarki: budaya yang menempatkan laki-laki (ayah) sebagai pemimpin utama keluarga.
-
Buta gender: menganggap pilihan pekerjaan sudah ditentukan sesuai kodrat.
-
Diskriminasi gender: memperlakukan orang berbeda hanya karena jenis kelaminnya.
-
Kesadaran gender: paham bahwa laki-laki dan perempuan punya hak dan tanggung jawab yang sama.
-
Bias gender: pandangan yang lebih mengutamakan satu jenis kelamin daripada yang lain.
Sedangkan ketidakadilan gender bisa muncul dalam banyak bentuk di antaranya sebagaimana berikut:
-
Subordinasi – perempuan dianggap nomor dua, terutama dalam politik, karir, dan pendidikan.
-
Pelabelan negatif – stereotip seperti “perempuan itu tugasnya masak” atau “janda gampang dirayu.”
-
Kekerasan – dari kekerasan fisik sampai pelecehan seksual.
-
Beban ganda – perempuan dituntut bekerja di luar sekaligus mengurus rumah.
-
Marginalisasi – upah lebih rendah untuk pekerjaan yang sama atau pembatasan akses kerja dan kredit.
Pada hakikatnya kesetaraan gender bukan hanya bermanfaat untuk kaum perempuan, tapi juga buat semua pihak. Bagi individu, upaya ini bisa meningkatkan rasa percaya diri, keberanian memperjuangkan hak, dan kebebasan menentukan pilihan hidup. Di keluarga, kesetaraan menumbuhkan rasa saling menghargai peran masing-masing. Di masyarakat, pembangunan bisa lebih cepat karena semua orang terlibat aktif. Bahkan untuk negara, kesetaraan gender memudahkan pembuatan kebijakan dan memastikan pembangunan benar-benar untuk semua.
Sayangnya, di Indonesia masih banyak nilai budaya yang meminggirkan perempuan. Misalnya, banyak perempuan korban kekerasan rumah tangga yang memilih diam karena takut atau merasa nggak akan mendapat keadilan. UU No. 23 Tahun 2004 memang ada untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga, tapi penerapannya sering terhambat ketidaksetaraan gender dan ketidakpastian hukum.
Dalam rangka mencapai kesetaraan di atas wacana-wacana pemberdayaan perempuan itu harus divokalkan. Caranya bisa dengan memberi kesempatan yang sama dalam pendidikan, ekonomi, dan politik. Konvensi internasional seperti CEDAW (yang sudah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 7 Tahun 1984) menegaskan bahwa negara harus menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan melakukan percepatan kesetaraan gender.
Langkah-langkahnya bisa meliputi promosi partisipasi perempuan di segala bidang, kemitraan yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta program khusus untuk menghilangkan kesenjangan gender. Yang penting, pemberdayaan ini bukan cuma soal kuota atau angka, tapi perubahan sikap dan perilaku masyarakat.
Pada akhirnya, hukum itu harus mencerminkan nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Perempuan punya hak yang sama untuk dilindungi, dihargai, dan diberi kesempatan berkembang. Negara sudah punya banyak aturan untuk melindungi perempuan, tapi praktiknya masih sering “jauh panggang dari api.” Tantangannya sekarang adalah bagaimana memastikan perlindungan itu benar-benar terasa di kehidupan sehari-hari, bukan sekadar tertulis di undang-undang
0 Komentar