Fokus Kajian

Menggugat Hak Anak dalam Konflik Israel–Palestina

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat pada setiap individu tanpa memandang suku, agama, maupun kewarganegaraan. Hak ini mencakup kebebasan untuk hidup layak, mengenyam pendidikan, mendapatkan pelayanan kesehatan, serta perlindungan dari kekerasan. Dalam situasi normal, hak-hak tersebut menjadi tanggung jawab negara untuk dipenuhi dan dilindungi. Namun, pada wilayah yang dilanda konflik bersenjata, seperti Palestina, pemenuhan hak asasi—khususnya hak anak sering kali terabaikan bahkan dilanggar secara terang-terangan.

Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina bukan hanya memunculkan kerusakan fisik dan korban jiwa, tetapi juga berdampak pada hilangnya hak-hak mendasar anak-anak Palestina. Perang yang berlangsung di Jalur Gaza dan Tepi Barat telah mengakibatkan ribuan anak kehilangan kesempatan belajar, akses layanan kesehatan, kebebasan bermain, hingga rasa aman di lingkungannya. Pelanggaran ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur perlindungan anak di wilayah konflik.

Akar konflik Israel–Palestina bermula dari perebutan wilayah yang dianggap “tanah terjanji” oleh kaum Zionis Yahudi dan merupakan wilayah suci bagi umat Islam, khususnya karena keberadaan Masjid Al-Aqsa. Sejak awal abad ke-20, migrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina memicu ketegangan dengan penduduk Arab setempat. Situasi semakin memanas ketika Deklarasi Balfour tahun 1917 membuka jalan bagi pendirian “rumah nasional Yahudi” di Palestina, sementara aspirasi kemerdekaan rakyat Palestina diabaikan.

Pada tahun 1948, Israel secara sepihak mendeklarasikan berdirinya negara, yang memicu perang besar dan mengakibatkan pengungsian massal warga Palestina. Sejak itu, konflik terus berulang dengan pola serangan militer, perampasan tanah, dan pembatasan wilayah. Di setiap gelombang konflik, anak-anak selalu menjadi korban yang paling rentan—baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

Bentuk pelanggaran yang dialami anak-anak Palestina sangat beragam. Banyak di antara mereka menjadi korban serangan udara, rudal, maupun tembakan langsung. Sebagian besar kehilangan anggota keluarga, rumah, dan fasilitas publik seperti sekolah atau rumah sakit. Akses pendidikan terganggu karena bangunan sekolah dihancurkan atau dipakai untuk kepentingan militer. Hak anak untuk bermain dan berkembang pun hilang, tergantikan oleh ketakutan akan serangan berikutnya.

Tidak hanya itu, ribuan anak Palestina juga mengalami penahanan oleh militer Israel. Berdasarkan data, sekitar 500–700 anak ditahan setiap tahunnya, bahkan ada yang baru berusia 12 tahun. Tuduhan yang kerap digunakan adalah pelemparan batu—sebuah tindakan yang oleh hukum militer Israel dikategorikan sebagai pelanggaran keamanan. Dalam prosesnya, anak-anak ini kerap diinterogasi tanpa pendampingan orang tua atau penasihat hukum, dipaksa menandatangani dokumen dalam bahasa yang tidak mereka pahami, serta mengalami kekerasan fisik maupun psikologis.

Dalam hukum internasional, perlindungan anak di wilayah konflik diatur dalam berbagai instrumen, di antaranya Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) dan Konvensi Jenewa 1949 beserta protokol tambahannya. Prinsip dasarnya menegaskan bahwa anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi, serta tetap berhak mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan meski dalam kondisi perang.

Tindakan Israel yang menyerang fasilitas sipil seperti sekolah dan rumah sakit jelas melanggar Pasal 13 Konvensi Jenewa III dan ketentuan Konvensi Jenewa IV, yang mengharamkan serangan terhadap objek yang digunakan untuk tujuan kemanusiaan. Penahanan anak-anak tanpa prosedur hukum yang adil juga melanggar prinsip fair trial dan hak untuk tidak disiksa. Pelanggaran ini termasuk kategori kejahatan perang (war crimes) menurut Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Sayangnya, meskipun regulasi internasional sudah sangat jelas, implementasinya di lapangan sering kali tidak berjalan efektif. Minimnya sanksi tegas terhadap pelanggar dan lemahnya mekanisme penegakan hukum internasional membuat pelanggaran hak anak di Palestina terus berulang tanpa penyelesaian yang berarti.

Konflik Israel–Palestina telah menempatkan anak-anak Palestina pada posisi yang sangat rentan. Hak-hak mendasar mereka—seperti hak hidup, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak mendapatkan perlindungan—secara sistematis dilanggar. Padahal, hukum internasional sudah menegaskan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk melindungi anak-anak dari dampak buruk perang.

Situasi ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum saja tidak cukup tanpa komitmen nyata dari masyarakat internasional untuk menegakkannya. Anak-anak Palestina seharusnya tumbuh dengan aman, mendapatkan pendidikan yang layak, serta bebas dari ancaman kekerasan. Namun, selama konflik dan pelanggaran hukum terus dibiarkan, masa depan mereka akan terus berada dalam bayang-bayang ketidakpastian.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close