Fokus Kajian

Kekuatan Hukum Hasil Mediasi dan Urgensi Akta Perdamaian (Van Dading)

Masyarakat kini mulai melihat mediasi sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik tanpa harus menempuh jalur litigasi yang panjang, mahal, dan formal. Namun,  mediasi di luar pengadilan masih menyisakan persoalan mendasar, yaitu soal kekuatan hukum dari hasil kesepakatan yang tercapai. Hal ini menimbulkan kekhawatiran apakah mediasi benar-benar bisa menjadi alat penyelesaian sengketa yang efektif jika hasil akhirnya tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai?

Mediasi di luar pengadilan sendiri merupakan proses yang dilakukan oleh mediator, baik perorangan maupun lembaga, di luar struktur pengadilan negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi diakui sebagai bagian dari sistem penyelesaian sengketa non-litigasi bersama dengan arbitrase dan bentuk-bentuk lain. Dalam praktiknya, mediasi biasanya diawali ketika upaya negosiasi antar pihak mengalami kebuntuan. Atas dasar kesepakatan tertulis, para pihak kemudian menunjuk mediator untuk membantu menyelesaikan sengketa. Dalam hal ini, mediator hanya bertugas memfasilitasi dialog tanpa memberikan putusan. Yang menentukan hasil adalah para pihak sendiri, melalui kesepakatan sukarela.

Proses pelaksanaan mediasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang secara eksplisit mengakui upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui prosedur konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dalam konteks ini, mediasi dianggap sebagai langkah legal dan sah dalam menyelesaikan perkara perdata maupun konflik lain seperti perburuhan, lingkungan hidup, hingga kasus kekayaan intelektual. Namun, meskipun prosesnya legal, hasil dari mediasi di luar pengadilan belum otomatis memiliki kekuatan hukum yang setara dengan putusan pengadilan, kecuali jika ditingkatkan statusnya menjadi akta perdamaian. Tanpa penguatan ini, kesepakatan tersebut hanya dipandang sebagai perjanjian biasa yang tidak dapat dieksekusi jika dilanggar.

Mediasi di luar pengadilan biasanya dimulai dengan pendaftaran sengketa oleh pemohon kepada lembaga mediasi seperti Pusat Mediasi Nasional. Jika termohon menyatakan kesediaan, maka kedua pihak akan memilih mediator secara bersama. Sebelum proses dimulai, mediator akan menyusun kesepakatan awal yang menjelaskan aturan mediasi, kode etik, biaya, serta teknis pelaksanaannya. Proses ini dilanjutkan dengan tahap pra-mediasi, di mana mediator bertemu masing-masing pihak secara terpisah, lalu dilanjutkan dengan pertemuan bersama. Ada dua tahap utama dalam mediasi: proses definisi masalah, dan proses pencarian solusi. Jika dalam proses ini tercapai kesepakatan, maka mediator akan menyusun draft perdamaian yang kemudian ditandatangani oleh para pihak.

Namun, tantangan besar muncul ketika kesepakatan yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak. Karena tidak memiliki kekuatan eksekusi, pihak lain yang dirugikan harus kembali menggugat ke pengadilan untuk memaksa pelaksanaan isi kesepakatan. Hal ini jelas melemahkan posisi mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien. Di sinilah letak urgensi penguatan hasil mediasi. Berdasarkan Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, hasil kesepakatan mediasi memang bersifat final dan mengikat, namun pelaksanaannya sangat tergantung pada iktikad baik para pihak. Jika tidak ada niat baik, kesepakatan itu tidak bisa dipaksakan tanpa gugatan baru, kecuali telah diubah statusnya menjadi akta perdamaian.

Agar kesepakatan hasil mediasi bisa memiliki kepastian hukum dan daya eksekusi, perlu dilakukan peningkatan status melalui pengadilan. Dalam hal ini, para pihak dapat mengajukan gugatan damai untuk mengubah kesepakatan menjadi akta perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Akta perdamaian yang dihasilkan akan memiliki kekuatan hukum yang setara dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, akta perdamaian memiliki tiga kekuatan utama: mengikat dan final, kekuatan pembuktian sempurna, dan kekuatan eksekutorial. Artinya, jika salah satu pihak ingkar, pihak lainnya dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tanpa harus menggugat ulang. Akta perdamaian juga berlaku sebagai bukti kuat dalam persidangan, bahkan dapat digunakan terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan.

Dalam konteks pembuktian, akta perdamaian dipandang sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, yakni hakim atau notaris, dan dapat digunakan sebagai bukti sempurna dalam proses hukum. Bahkan jika pun tidak mengikat terhadap pihak ketiga, akta tersebut tetap dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat. Dalam hal ini, frasa "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dalam kepala putusan menjadi simbol kekuatan eksekusi dari sebuah putusan atau akta perdamaian. Jadi, mediasi bukan sekadar kesepakatan damai, melainkan bisa menjadi jalan penyelesaian yang setara kekuatannya dengan putusan hukum, asalkan dijalankan dengan prosedur hukum yang tepat.

Sayangnya, belum semua masyarakat memahami pentingnya penguatan hasil mediasi ini. Banyak pihak yang puas hanya dengan kesepakatan informal tanpa berusaha menguatkannya ke pengadilan atau melalui notaris. Akibatnya, ketika kesepakatan dilanggar, mereka kehilangan perlindungan hukum yang seharusnya bisa dimiliki sejak awal. Oleh karena itu, edukasi tentang pentingnya menjadikan hasil mediasi sebagai akta perdamaian harus terus digencarkan, bersamaan dengan dorongan reformasi regulasi agar mediasi di luar pengadilan dapat langsung memiliki kekuatan eksekutorial tanpa prosedur tambahan.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close