Fokus Kajian

Editorial: Membaca Kembali Angka 421, Jumlah Perkawinan Anak di DIY Sepanjang 2024


Ironi besar ketika kita menyebut Yogyakarta sebagai “kota pelajar”, sebuah tempat yang melambangkan kemajuan, pendidikan, dan intelektualitas, namun  di sisi lain menjadi tempat terdapat pernikahan ratusan anak setiap tahunnya. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DIY mencatat, sepanjang tahun 2024, sebanyak 421 anak menikah dini, bahkan dua di antaranya baru berusia 13 tahun. Saya membaca angka ini bukan sebagai statistik belaka, tetapi sebagai gambaran luka yang diam-diam tumbuh dalam sistem sosial kita.

Ada kekosongan yang tampaknya belum kita isi sebagai masyarakat: kegagalan melindungi masa depan anak. Dalam sebuah forum diskusi beberapa waktu lalu, kami membahas pergeseran nilai dan struktur keluarga. Namun, tak ada yang cukup menampar kesadaran saya seperti kenyataan bahwa pernikahan anak masih dianggap sebagai “solusi” atas kehamilan, atas kemiskinan, atas kekhawatiran moral keluarga. Tetapi benarkah itu solusi?

Hukum sudah berubah. Usia minimum menikah sudah disetarakan 19 tahun, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Namun, celah masih terbuka melalui dispensasi nikah. Seolah hukum berkata: ini tidak boleh, tapi kalau terpaksa, ya silakan. Maka, pertanyaannya bukan sekadar soal aturan, tetapi tentang bagaimana kita memaknai masa kanak-kanak dalam tatanan hukum, sosial, dan budaya kita.

Perkawinan anak tidak berdiri sendiri. Ia selalu berada dalam perpotongan persoalan: kemiskinan, kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif, tekanan sosial, dan sistem hukum yang masih longgar. Lebih jauh, ini adalah soal ketimpangan kekuasaan antara anak dan dunia orang dewasa—ketika suara anak dikecilkan, dan keputusan tentang hidupnya diambil tanpa benar-benar menanyakan apakah ia siap.

Saya membayangkan anak usia 13 tahun mengenakan gaun pengantin, dengan senyum dipaksakan di hadapan kamera. Di balik layar, mungkin ia sedang memikirkan mainan, sekolah, atau takut akan malam pertama yang tak ia pahami. Perkawinan bukan sekadar upacara atau pencatatan sipil. Ia adalah transformasi tanggung jawab yang seharusnya hanya dijalani ketika seseorang sudah memiliki kendali atas tubuh, pikiran, dan pilihan hidupnya.

Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, masalah ini terasa semakin mendesak. Bukankah kita menyebut diri sebagai masyarakat yang menjunjung nilai luhur dan pendidikan? Tapi ternyata, kearifan lokal dan struktur sosial kita belum cukup melindungi mereka yang paling rentan. Tradisi dan agama yang seharusnya menjadi pelindung moral, kadang malah dijadikan pembenaran atas praktik ini. Sementara itu, lembaga hukum kerap terjebak dalam logika administratif semata.

Sebagai bagian dari aparatur sipil negara, saya pun merenungkan: sejauh mana sistem kita benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak? Sudahkah kita memastikan bahwa keputusan kebijakan, regulasi, dan layanan publik yang kita jalankan benar-benar melihat anak sebagai subjek yang utuh? Atau justru, tanpa sadar, kita hanya memperkuat sistem yang memaksa anak menjadi dewasa sebelum waktunya?

Negara dan masyarakat seharusnya membangun pendekatan baru yang tidak lagi hanya memandang perkawinan anak sebagai gejala, tetapi sebagai bentuk ketidakadilan struktural. Ini bukan semata-mata urusan moralitas, melainkan hak asasi manusia yang paling mendasar: hak untuk tumbuh, belajar, dan mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. Oleh karena itu, kita membutuhkan intervensi dari berbagai arah: regulasi yang lebih ketat, pendidikan yang memberdayakan, program sosial yang mendukung keluarga rentan, serta transformasi budaya yang menjadikan usia anak sebagai fase penting yang harus dirawat, bukan dipercepat.

Namun perubahan tidak akan terjadi jika kita tidak mengubah diskursus yang berkembang di masyarakat. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan anak yang ‘berpacaran terlalu jauh’ atau ‘hamil sebelum menikah’, dan mulai bertanya: di mana sistem perlindungan kita selama ini? Sudah saatnya narasi “melindungi anak dengan menikahkannya” digantikan dengan “melindungi anak dengan memberinya pilihan, pendidikan, dan waktu untuk tumbuh”.

Diskursus kita harus berkembang dari sekadar angka dan aturan menjadi refleksi tentang nilai. Bahwa menunda perkawinan bukanlah bentuk pembangkangan terhadap norma sosial, melainkan tindakan sadar untuk melindungi hak anak sebagai individu yang merdeka. Bahwa pernikahan seharusnya menjadi pilihan matang orang dewasa, bukan beban yang diwariskan terlalu dini.

Melalui refleksi ini, kita diajak untuk melihat bahwa perkawinan anak bukan hanya soal masa depan individu, tapi juga soal arah kebangsaan kita. Jika anak-anak terus kita paksa tumbuh sebelum waktunya, maka kita pun kehilangan kesempatan membangun masa depan yang lebih adil, lebih sehat, dan lebih manusiawi. Dan dalam kehilangan itu, sesungguhnya kita tengah mengabaikan tanggung jawab paling mendasar kita sebagai bangsa: menjaga anak-anak hari ini untuk Indonesia yang lebih baik esok hari

Refleksi ini bukan ajakan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi undangan untuk jujur pada diri sendiri. Bahwa melindungi anak bukan sekadar memasang baliho bertema “stop perkawinan dini”, tapi menata ulang cara berpikir, bekerja, dan memanusiakan anak dalam kebijakan dan budaya kita. Karena ketika seorang anak menikah pada usia 13 tahun, maka yang gagal bukan hanya keluarga, tetapi juga negara dan kita semua sebagai bagian dari masyarakatnya.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close