Fokus Kajian

Itikad Baik sebagai Fondasi Perlindungan Perjanjian

sumber:pexels

Dalam setiap hubungan hukum, terutama dalam ranah perjanjian, keberadaan asas itikad baik menjadi fondasi penting untuk menjamin adanya keadilan serta kepastian hukum. Perjanjian tidak hanya sekadar rangkaian kata atau janji yang tertulis, tetapi juga memuat nilai moral berupa kejujuran dan kepatutan yang wajib dipatuhi oleh para pihak. Itikad baik harus hadir sejak tahap pra-kontrak, ketika para pihak melakukan negosiasi, hingga tahap pelaksanaan perjanjian. Tanpa adanya iktikad baik, perjanjian hanya akan melahirkan potensi sengketa dan merugikan pihak yang lemah dalam posisi tawar. Dengan kata lain, asas ini merupakan jembatan antara hukum sebagai aturan normatif dan kebutuhan keadilan dalam praktik nyata.

Lebih jauh, peran itikad baik dalam perjanjian juga tidak bisa dilepaskan dari sifat manusia sebagai makhluk sosial. Dalam relasi sosial, orang tidak bisa hidup sendiri tanpa bergantung pada orang lain, sehingga sikap saling menghormati dan bekerja sama adalah keharusan. Itikad baik yang dijalankan dalam hubungan hukum mencerminkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga ketertiban dan keseimbangan. Maka dari itu, asas ini hadir bukan hanya sebagai ketentuan hukum formal, tetapi juga sebagai kebutuhan sosial agar interaksi antarindividu tetap berjalan secara sehat dan adil.

Secara umum, itikad baik dapat dipahami dalam dua sudut pandang, yaitu subjektif dan objektif. Itikad baik subjektif merujuk pada sikap batin seseorang, yakni kejujuran dan keyakinan bahwa tindakannya tidak bertentangan dengan hukum. Seorang pembeli yang beritikad baik, misalnya, percaya penuh bahwa penjual memang pemilik sah atas barang yang dijualnya. Sementara itu, itikad baik objektif menekankan pada ukuran kepatutan dalam masyarakat. Artinya, perilaku para pihak dalam menjalankan perjanjian harus sesuai dengan standar kewajaran yang berlaku, sehingga tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja.

Perbedaan keduanya penting untuk dipahami karena membawa konsekuensi hukum yang berbeda. Itikad baik subjektif lebih menekankan pada niat atau kondisi batin pihak yang melakukan tindakan hukum, sedangkan objektif berfokus pada perilaku nyata yang dapat dinilai oleh masyarakat luas. Dalam praktik perjanjian, kedua bentuk itikad baik ini berjalan beriringan. Kejujuran individu akan menjadi dasar, sementara kepatutan sosial menjadi ukuran yang mengikat. Dengan demikian, asas ini tidak hanya berfungsi untuk melindungi pihak yang jujur, tetapi juga menjadi kontrol agar hubungan kontraktual tidak merugikan kepentingan orang lain.

Itikad Baik dalam Perspektif Filsafat dan Sejarah Hukum

Pemikiran mengenai iktikad baik sebenarnya sudah lama berkembang dalam filsafat maupun hukum. Immanuel Kant menekankan bahwa kehendak yang baik adalah sesuatu yang mutlak bernilai, karena moralitas tidak diciptakan manusia melainkan ditemukan melalui akal budi. Dalam kerangka ini, iktikad baik adalah bentuk kehendak yang sesuai dengan hukum moral universal yang berlaku bagi setiap orang. Sejalan dengan itu, dalam tradisi hukum Romawi lahir doktrin bona fides yang menjadi dasar penting lahirnya konsep iktikad baik dalam kontrak. Pada awalnya, perjanjian bersifat formalistik, namun kemudian berkembang menjadi perjanjian konsensual dengan syarat adanya iktikad baik.

Ajaran bona fides dalam hukum Romawi mengajarkan bahwa seseorang dalam membuat maupun melaksanakan perjanjian harus berperilaku jujur, tidak menipu, dan menjaga kehormatan pihak lain. Prinsip ini kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya pemahaman bahwa pihak yang jujur patut dilindungi oleh hukum, sementara pihak yang tidak jujur harus menerima konsekuensi dari perbuatannya. Dengan demikian, sejarah hukum menunjukkan bahwa asas iktikad baik tidak hanya dipandang sebagai aturan teknis, tetapi juga sebagai nilai moral yang melekat dalam hukum perdata. Hal ini membuktikan bahwa iktikad baik selalu terkait erat dengan konsep keadilan yang lebih luas.

Itikad Baik dalam KUH Perdata Indonesia

Dalam hukum Indonesia, prinsip iktikad baik diatur secara eksplisit dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Pasal ini menjadi dasar bahwa substansi perjanjian tidak cukup hanya dilihat dari kesepakatan formal, tetapi juga harus dijalankan dengan memperhatikan norma kepatutan. KUH Perdata juga mengenal konsep iktikad baik subjektif dalam konteks kepemilikan (bezit) dan pembayaran utang, serta iktikad baik objektif dalam pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Dengan begitu, asas ini tidak hanya berlaku pada satu ranah, melainkan melintasi berbagai aspek hukum perdata.

Hal menarik lainnya adalah peran hakim dalam menafsirkan asas iktikad baik. Hakim tidak hanya melihat isi perjanjian secara tekstual, melainkan juga menilai apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan norma kepatutan. Apabila ditemukan adanya penyimpangan, hakim dapat menyimpang dari bunyi pasal kontrak dan bahkan membatalkan perjanjian. Dari sini terlihat bahwa asas iktikad baik memberi ruang bagi fleksibilitas hukum agar perjanjian tidak dijalankan dengan cara yang merugikan salah satu pihak. Artinya, asas ini bukan sekadar aturan tambahan, tetapi instrumen yang menghidupkan nilai keadilan dalam hukum perjanjian.

Fungsi utama asas iktikad baik adalah memberikan perlindungan hukum yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian. Hakim diberi kewenangan untuk menilai apakah suatu perjanjian dijalankan dengan iktikad baik atau tidak. Jika ditemukan adanya penyimpangan, hakim dapat mengubah, menghapus, atau membatalkan sebagian isi perjanjian. Dalam praktik, peran ini menjadi sangat penting karena sering kali salah satu pihak melakukan wanprestasi dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dengan adanya asas iktikad baik, tindakan semacam itu bisa dicegah dan dikoreksi melalui mekanisme hukum.

Selain itu, asas ini juga menjadi jaminan agar kebebasan berkontrak tidak disalahgunakan. Secara teori, kebebasan berkontrak memberikan ruang bagi para pihak untuk menentukan isi perjanjian sesuai kehendak mereka. Namun dalam kenyataannya, posisi tawar para pihak sering kali tidak seimbang. Di sinilah asas iktikad baik berfungsi sebagai penyeimbang yang memastikan agar perjanjian tetap berjalan secara adil dan tidak merugikan pihak yang lemah. Dengan kata lain, perlindungan hukum melalui asas iktikad baik merupakan wujud nyata dari tujuan hukum, yaitu menciptakan keadilan dan keteraturan dalam masyarakat.

Peran Itikad Baik dalam Dinamika Kontrak Modern

Perkembangan hukum kontrak modern memperlihatkan bahwa asas iktikad baik tidak hanya berlaku dalam hukum perdata klasik, tetapi juga meluas ke ranah hukum lain. Setelah Perang Dunia II, asas ini diterima secara lebih universal, bahkan diakui dalam Piagam PBB maupun Konvensi Wina 1969. Pengakuan internasional ini menunjukkan bahwa iktikad baik merupakan asas hukum umum yang berlaku lintas negara. Dengan begitu, asas ini bukan hanya milik sistem hukum tertentu, melainkan prinsip universal yang menjadi pedoman dalam setiap hubungan hukum, termasuk kontrak kerja sama di Indonesia.

Dari perspektif global, itikad baik berfungsi sebagai pengikat agar negara maupun individu dapat menjaga kepercayaan dalam menjalankan kewajiban mereka. Konsep ini juga memperkuat bahwa hukum bukan hanya kumpulan aturan formal, tetapi harus dijalankan dengan semangat kejujuran. Penerimaan universal terhadap asas iktikad baik menandakan bahwa nilai ini memang menjadi kebutuhan bersama, baik dalam hubungan antarindividu maupun antarnegara. Hal ini juga memberi landasan bagi Indonesia untuk terus mengembangkan hukum kontrak yang selaras dengan perkembangan internasional, tanpa kehilangan ruh keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa iktikad baik memiliki posisi sentral dalam perjanjian. Ia tidak hanya berfungsi sebagai asas formal, tetapi juga sebagai instrumen moral dan sosial yang menjaga keseimbangan, keadilan, serta perlindungan hukum. Perjanjian yang dibuat tanpa dilandasi iktikad baik akan kehilangan makna karena cenderung menimbulkan konflik. Oleh karena itu, asas iktikad baik harus ditempatkan sebagai fondasi dalam setiap kontrak, baik pada tahap prakontrak, pelaksanaan, maupun penyelesaian sengketa.

Pada akhirnya, asas ini juga menegaskan bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai moral yang hidup di tengah masyarakat. Keberadaan iktikad baik menjadi jaminan agar hukum perjanjian tetap berjalan di atas rel yang benar, sekaligus menjadi sarana untuk melindungi kepentingan para pihak secara adil. Dengan menempatkan iktikad baik sebagai fondasi, hukum perjanjian di Indonesia dapat terus berkembang mengikuti dinamika masyarakat tanpa kehilangan orientasi dasarnya, yaitu mewujudkan keadilan dan ketertiban sosial

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close