Isu tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance sudah lama menjadi pembahasan di Indonesia. Seiring perkembangan demokrasi, masyarakat semakin menuntut adanya pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bersih dari praktik korupsi. Namun kenyataannya, masalah korupsi dan lemahnya birokrasi masih sering menjadi hambatan. Karena itu, diperlukan instrumen hukum yang bisa jadi pijakan dalam mengatur tindakan pemerintah sekaligus mencegah penyalahgunaan wewenang. Di sinilah Hukum Administrasi Negara punya posisi penting.
Hukum Administrasi Negara bukan hanya kumpulan aturan, tetapi juga panduan bagi pemerintah dalam menjalankan kewenangan. Di dalamnya ada pengaturan soal prosedur, hubungan pemerintah dengan masyarakat, sampai etika penyelenggara negara. Kalau dijalankan dengan baik, hukum administrasi bisa membantu memperkuat birokrasi, meningkatkan pelayanan publik, dan akhirnya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Tulisan ini mencoba membahas bagaimana peran hukum administrasi negara dalam konteks good governance dan reformasi birokrasi di Indonesia. Kajian ini penting, sebab problem yang dihadapi Indonesia saat ini bukan cuma lemahnya manajemen birokrasi, tapi juga mentalitas aparat dan budaya koruptif yang sudah lama mengakar.
Korupsi di Indonesia sudah jadi masalah klasik yang menyentuh hampir semua sektor. Dari eksekutif, legislatif, yudikatif, sampai BUMN dan lembaga non-pemerintah, praktik koruptif muncul dalam berbagai bentuk. Mulai dari suap, penyalahgunaan anggaran, sampai kolusi dalam proyek-proyek besar. Fenomena ini jelas merugikan negara dan masyarakat. Bukan hanya dari sisi keuangan, tapi juga dari rusaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Salah satu penyebab suburnya praktik korupsi adalah birokrasi yang tidak sehat. Banyak pejabat masih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok, dibanding kepentingan publik. Apalagi, relasi politik yang transaksional sering membuat posisi jabatan dipengaruhi oleh kedekatan, bukan kompetensi. Akhirnya, pelayanan publik yang seharusnya berpihak pada masyarakat malah jadi ruang transaksi.
Padahal, birokrasi adalah wajah negara di mata rakyat. Kalau birokrasi rusak, kepercayaan publik pada negara ikut runtuh. Inilah kenapa reformasi birokrasi menjadi agenda penting yang tidak boleh setengah-setengah. Namun, reformasi saja tidak cukup tanpa payung hukum yang jelas. Di sinilah hukum administrasi berfungsi sebagai “penjaga” agar reformasi berjalan sesuai tujuan, bukan sekadar jargon politik.
Menurut UNDP, ada beberapa prinsip utama dalam good governance, seperti partisipasi masyarakat, kepastian hukum (rule of law), transparansi, akuntabilitas, orientasi konsensus, dan responsivitas aparatur publik. Semua prinsip ini pada dasarnya sejalan dengan semangat hukum administrasi negara.
Misalnya, prinsip transparansi hanya bisa berjalan kalau ada aturan yang menjamin keterbukaan informasi publik. Begitu juga akuntabilitas, baru bisa ditegakkan kalau ada mekanisme pengawasan hukum terhadap tindakan pejabat negara. Artinya, hukum administrasi adalah jembatan antara idealisme good governance dengan praktik pemerintahan sehari-hari.
Selain itu, hukum administrasi juga mengatur soal hubungan antara pemerintah dan warga negara. Hubungan ini harus seimbang: pemerintah punya kewenangan mengatur, tapi masyarakat juga punya hak untuk dilayani dan dilindungi. Kalau pejabat menyalahgunakan kewenangannya, hukum administrasi memberi ruang untuk mengoreksi. Dengan begitu, hukum ini bisa jadi instrumen pencegah munculnya praktik korupsi sejak awal.
Reformasi birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah mulai sejak era pasca-Orde Baru. Namun, hasilnya belum sepenuhnya sesuai harapan. Salah satu masalahnya adalah kurangnya komitmen pemerintah dalam menegakkan aturan dan budaya integritas. Banyak kebijakan reformasi yang bagus di atas kertas, tapi tidak konsisten dijalankan.
Melalui hukum administrasi, reformasi birokrasi bisa diarahkan lebih jelas. Pertama, hukum bisa membatasi ruang diskresi pejabat publik, sehingga keputusan yang diambil tidak seenaknya. Kedua, hukum bisa mengatur prosedur pengadaan barang dan jasa agar tidak jadi lahan korupsi. Ketiga, hukum administrasi bisa menekankan pentingnya etika aparatur, sehingga pejabat tidak hanya patuh pada aturan, tapi juga punya tanggung jawab moral.
Kalau ketiga hal ini konsisten dijalankan, reformasi birokrasi bukan hanya slogan, tapi bisa membawa perubahan nyata. Birokrasi akan jadi lebih profesional, efisien, dan yang terpenting: bebas dari budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam mencegah dan memberantas korupsi, hukum administrasi tidak bisa jalan sendirian. Harus ada kolaborasi dengan hukum pidana. Hukum pidana memberikan sanksi tegas bagi pelaku korupsi, sementara hukum administrasi mengatur agar tindakan korupsi bisa dicegah sejak awal.
Misalnya, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengatur soal penyalahgunaan wewenang. Sementara Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi sanksi pidana kalau penyalahgunaan itu terbukti merugikan negara. Jadi, keduanya saling melengkapi: hukum administrasi mencegah, hukum pidana menindak. Dengan kombinasi ini, efek jera bisa tercipta sekaligus mempersempit ruang terjadinya korupsi.
Hukum Administrasi Negara punya peran besar dalam mewujudkan good governance dan reformasi birokrasi di Indonesia. Melalui pengaturan yang jelas, hukum ini bisa memastikan pemerintah berjalan transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan publik. Dengan dukungan prinsip good governance, hukum administrasi bisa jadi benteng untuk mencegah praktik korupsi, sekaligus menguatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah.
Optimisme terhadap peran hukum administrasi negara tidak lepas dari kuatnya dasar hukum yang menopangnya. Beberapa regulasi penting yang menjadi pijakan antara lain:
-
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi payung hukum utama dalam menindak penyalahgunaan kewenangan.
-
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengatur tata kelola keuangan negara agar tidak disalahgunakan.
-
UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang memperjelas prosedur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
-
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memperkuat fungsi audit eksternal terhadap pengelolaan keuangan negara.
-
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan serta memberi batasan terhadap penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merupakan instrumen hukum yang mempertegas komitmen negara dalam memberantas korupsi. Sinergi antara hukum administrasi, hukum pidana, dan lembaga pengawasan inilah yang menjadi dasar bagi optimisme ke depan.
Di sinilah hukum administrasi negara memiliki peran sentral. Hukum administrasi berfungsi untuk mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat, sekaligus memberi batasan agar pejabat tidak menggunakan kewenangan secara sewenang-wenang. Melalui mekanisme pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas, hukum administrasi negara mendorong lahirnya pemerintahan yang bersih.
Beberapa peran penting hukum administrasi negara dalam mencegah korupsi antara lain:
-
Pengawasan legalitas: memastikan setiap kebijakan, program, maupun pengeluaran keuangan negara dilakukan sesuai aturan.
-
Transparansi dan akuntabilitas: membuka akses informasi kepada publik sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi jalannya pemerintahan.
-
Reformasi birokrasi: membenahi tata kelola pemerintahan agar lebih profesional, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Melalui ketiga aspek ini, hukum administrasi berupaya menutup celah-celah yang sering menjadi ruang gerak praktik korupsi. Meskipun belum sempurna, fondasi ini penting sebagai modal awal membangun pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
0 Komentar