Fokus Kajian

Mengawal Identitas Hukum Nasional Dalam Dinamika Kebijakan Global

sumber: pexels

Globalisasi pada dasarnya bukan sekadar istilah, tetapi sudah menjadi realitas yang memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk hukum. Dunia saat ini tidak lagi bisa dipandang sebagai kumpulan negara yang terpisah, karena setiap kebijakan, perjanjian, bahkan konflik di suatu belahan dunia bisa berdampak langsung pada negara lain. Dalam konteks hukum, globalisasi menimbulkan apa yang disebut sebagai global law, yakni fenomena di mana aturan hukum tidak hanya lahir dari otoritas negara, melainkan juga dipengaruhi oleh instrumen internasional dan tekanan global.

Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu tidak bisa menghindar dari realitas ini. Ratifikasi berbagai perjanjian internasional, seperti Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), telah memaksa Indonesia untuk menyesuaikan hukum nasional dengan standar internasional. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang hak asasi manusia, di mana lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM merupakan respons langsung terhadap instrumen hukum internasional, terutama Statuta Roma 1998. Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan hukum nasional tidak bisa dilepaskan dari dinamika global.

Namun, persoalannya kemudian adalah bagaimana Indonesia bisa mengharmonisasikan hukum nasional dengan hukum global tanpa kehilangan identitas hukumnya sendiri. Globalisasi memang membawa peluang, tetapi juga menyimpan potensi dominasi, khususnya dari negara-negara maju yang mendorong liberalisasi ekonomi. Karena itu, pembahasan mengenai harmonisasi hukum di era globalisasi menjadi sangat relevan untuk melihat arah kebijakan hukum Indonesia ke depan.

Harmonisasi Hukum di Era Globalisasi

Secara sederhana, harmonisasi hukum bisa dipahami sebagai upaya menyelaraskan hukum nasional dengan perkembangan hukum yang lebih luas, baik di tingkat regional maupun global. Dalam proses ini, Indonesia dituntut untuk mengadopsi norma-norma hukum internasional agar tidak terisolasi dari percaturan global. Contohnya terlihat jelas setelah Indonesia meratifikasi perjanjian WTO. Ratifikasi ini membawa konsekuensi hukum bahwa Indonesia harus menyesuaikan aturan di bidang perdagangan, investasi, dan hak kekayaan intelektual dengan ketentuan WTO.

Meski demikian, tidak semua hasil harmonisasi berjalan mulus. Sejumlah produk hukum yang lahir pasca ratifikasi WTO kerap dianggap tidak sejalan dengan nilai dan jiwa bangsa Indonesia. Misalnya, aturan di bidang investasi dan perdagangan internasional sering kali dipandang terlalu liberal, bahkan bercorak kapitalistik, sehingga dikhawatirkan justru merugikan masyarakat kecil. Inilah salah satu dilema yang muncul: di satu sisi Indonesia harus membuka diri terhadap aturan global, tetapi di sisi lain ada tuntutan untuk tetap menjaga nilai kebersamaan dan keadilan sosial yang menjadi dasar kehidupan berbangsa.

Di luar bidang ekonomi, pengaruh globalisasi juga terasa kuat dalam perkembangan hukum hak asasi manusia di Indonesia. Lahirnya undang-undang tentang HAM bukan hanya cermin komitmen nasional, melainkan juga hasil tekanan global. Memang, dalam tataran normatif, kehadiran aturan HAM memberikan dasar yang lebih kuat untuk melindungi hak warga negara. Akan tetapi, jika tidak dikelola dengan bijak, harmonisasi ini berisiko hanya menjadi formalitas yang dipaksakan tanpa benar-benar berakar pada kebutuhan masyarakat Indonesia.

Urgensi Menjaga Identitas Hukum Nasional

Dari gambaran di atas, terlihat bahwa harmonisasi hukum nasional dengan hukum global adalah hal yang tidak bisa dihindari. Namun, urgensi yang lebih penting adalah bagaimana Indonesia bisa menjaga identitas hukumnya sendiri di tengah arus globalisasi. Globalisasi memang menciptakan keterhubungan lintas negara (global interdependence), tetapi setiap negara tetap memiliki hak untuk memastikan bahwa aturan global yang diadopsi tidak bertentangan dengan nilai-nilai lokal.

Bagi Indonesia, menjaga identitas hukum berarti memastikan bahwa hukum nasional tetap berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan sekadar tunduk pada tekanan global atau kepentingan kapital. Pembangunan hukum nasional harus diarahkan agar sesuai dengan cita-cita negara hukum yang termaktub dalam UUD 1945, yaitu hukum yang menjamin persamaan, demokrasi, dan perlindungan rakyat. Dengan kata lain, harmonisasi hukum bukan berarti menyerahkan kedaulatan hukum nasional, melainkan menyaring nilai-nilai global agar tetap selaras dengan kebutuhan dan budaya bangsa.

Oleh karena itu, harmonisasi hukum idealnya dipahami sebagai proses selektif. Negara tidak boleh menelan mentah-mentah aturan global, melainkan harus melakukan adaptasi yang kontekstual. Prinsip ini penting agar hukum nasional tetap relevan, sekaligus mampu menjawab tantangan global. Dengan cara ini, harmonisasi hukum tidak akan menjadi instrumen dominasi, tetapi justru menjadi jalan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam pergaulan internasional.

Penutup

Hukum nasional Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi. Ratifikasi WTO maupun lahirnya undang-undang HAM menjadi bukti nyata bagaimana hukum internasional memberi dampak langsung terhadap pembentukan hukum di Indonesia. Namun, harmonisasi hukum bukan sekadar proses mengikuti arus global, melainkan upaya untuk menyeimbangkan antara tuntutan internasional dengan kebutuhan nasional.

Urgensi utama bagi Indonesia adalah membangun sistem hukum yang adaptif terhadap perkembangan global, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Identitas hukum Indonesia harus dijaga agar hukum nasional tidak kehilangan jati diri, sekaligus mampu melindungi kepentingan rakyat. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi bagian aktif dalam percaturan global, tanpa harus mengorbankan prinsip keadilan sosial yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close