Fokus Kajian

Menjaga Koridor Bank Syariah di Era Digitalisasi

Pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia telah menempatkan negara ini sebagai salah satu kekuatan utama  syariah global. Namun, laju pertumbuhan yang sangat dinamis tersebut diiringi dengan tantangan serius untuk memastikan seluruh produk yang dihasilkan benar-benar sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Ijtihad para ulama. Implementasi prinsip syariah tidak hanya menjadi keharusan normatif, namun juga kunci utama bagi keberlanjutan dan kredibilitas industri perbankan syariah di tengah tuntutan inovasi digital dan persaingan global yang semakin ketat.

Dalam praktiknya, produk-produk bank syariah yang terus bermunculan, baik dalam penghimpunan dana maupun penyalurannya, berpotensi menghadapi penyimpangan dari kaidah syariah, terutama dalam aspek riba, gharar, maisir, dan keterlibatan pada produk yang diharamkan. Oleh sebab itu, penguatan prinsip syariah pada setiap tahapan pengembangan produk menjadi suatu keniscayaan agar nantinya tidak hanya memberikan kemudahan dan keuntungan material, tetapi juga memberikan keberkahan serta keamanan spiritual bagi para nasabah.

Era digitalisasi menuntut bank syariah untuk melakukan inovasi produk dan layanan, seperti mobile banking, digital wallet, hingga platform investasi syariah daring. Namun, setiap inovasi hendaknya tetap dikawal oleh prinsip kepatuhan syariah, antara lain:

  • Menjauhi unsur riba, sebagaimana dijelaskan bahwa bunga bank dalam segala bentuknya merupakan riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama.

  • Menghindari gharar, yaitu ketidakjelasan dalam objek atau mekanisme transaksi digital, seperti dalam jual beli online tanpa kejelasan barang dan penyerahan yang valid.

  • Bebas dari unsur maisir (perjudian) dan produk haram, baik dalam bentuk fitur reward, undian, maupun keterlibatan pada aktivitas atau produk yang tidak halal.

  • Penggunaan akad yang tepat, misalnya prinsip wadi’ah pada giro dan tabungan serta mudharabah pada deposito, harus dikaji ulang keabsahan dan implementasinya dalam konteks digital agar tetap sesuai prinsip fiqih muamalah kontemporer.

Beberapa persoalan masih menjadi perhatian utama dalam praktik perbankan syariah, seperti penggunaan akad wadi’ah yad dhamanah untuk produk giro dan tabungan. Meskipun secara administratif akad ini lazim digunakan, namun secara fiqih, mayoritas ulama berpandangan haram bagi penerima titipan (bank) untuk memanfaatkan dana tanpa izin eksplisit, kecuali akadnya dialihkan menjadi qardh (pinjaman tanpa bunga). Begitu juga dalam produk deposito berbasis mudharabah, harus dipastikan adanya kejelasan nisbah bagi hasil dan larangan jaminan keuntungan tetap, agar tidak terjerumus pada riba terselubung yang bertentangan dengan hukum syariah.

Revitalisasi kepatuhan syariah membutuhkan sinergi antara dewan pengawas syariah, otoritas regulator, serta peningkatan literasi syariah kepada seluruh insan perbankan dan masyarakat luas. Proses pengawasan tidak cukup hanya sebelum peluncuran produk, namun harus terus dikawal selama produk berjalan, khususnya dalam penggunaan teknologi digital yang rentan terhadap manipulasi dan potensi penyimpangan prinsip syariah.

Dalam upaya merealisasikan kepatuhan syariah secara komprehensif dalam pengembangan produk bank syariah, relevansi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan nasional menjadi landasan yang harus terus dijadikan pedoman. Salah satu acuan utama adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menegaskan bahwa setiap kegiatan dan produk bank syariah wajib dijalankan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2: “Perbankan syariah dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.” Ketentuan ini mempertegas bahwa inovasi produk ataupun implementasi teknologi digital tidak boleh keluar dari rel prinsip syariah, baik dalam penghimpunan maupun penyaluran dana.

Lebih lanjut, dalam Pasal 19 huruf c UU No. 21 Tahun 2008 dijelaskan bahwa akad mudharabah merupakan salah satu akad yang diakui secara eksplisit dalam penghimpunan dana, yakni: “Akad mudharabah adalah kerja sama usaha antara pihak penyedia dana dan pengelola dana dengan pembagian hasil usaha sesuai kesepakatan.” Dengan demikian, setiap produk deposito syariah wajib menggunakan skema bagi hasil (profit and loss sharing), serta tidak diperkenankan memberikan jaminan keuntungan tetap yang dapat menjurus pada praktik riba yang dilarang oleh syariat dan hukum nasional.

Prinsip kehati-hatian juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008, di mana disebutkan bahwa bank syariah wajib menghindari transaksi yang mengandung unsur riba, gharar (ketidakpastian), maisir (perjudian), dan produk yang diharamkan secara syariat. Hal ini menguatkan urgensi pengawasan dan kajian yang berkelanjutan atas setiap inovasi, termasuk layanan digital, agar tetap steril dari unsur-unsur yang dilarang hukum Islam maupun peraturan negara.

Di sisi lain, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia misalnya Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan Fatwa No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan menjadi rujukan penting dalam menetapkan kesesuaian produk tabungan dan giro dengan akad wadi’ah atau mudharabah. Fatwa tersebut juga mempertegas larangan adanya pemberian imbalan atau keuntungan yang disyaratkan sebelumnya pada akad wadi’ah, kecuali dalam bentuk bonus sukarela yang tidak mengikat.

Dengan merujuk secara konsisten pada pasal-pasal dan fatwa yang relevan, bank syariah dapat memastikan bahwa seluruh inovasi produk dan layanan digital yang dikembangkan tetap selaras dengan prinsip, koridor hukum, dan nilai-nilai syariah yang menjadi fondasi utama perbankan syariah di Indonesia. Upaya ini tidak hanya menjamin kepatuhan normatif, melainkan juga memperkokoh kepercayaan masyarakat serta mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah yang sehat dan berkeadilan.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close