Sebelum Islam datang membawa reformasi hukum, praktik perceraian di masyarakat Arab pra-Islam (masa jahiliah) dijalankan dengan cara yang sangat merugikan perempuan. Talak menjadi alat dominasi laki-laki yang tidak terbatas oleh etika atau hukum. Suami bisa menceraikan istri sesukanya, bahkan berkali-kali dalam satu masa ‘iddah. Hal ini bukan saja menciptakan ketidakpastian hidup bagi perempuan, tetapi juga memperlihatkan wajah timpang relasi rumah tangga yang menjadikan perempuan hanya sebagai objek, bukan subjek yang setara.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas bagaimana Islam mengubah paradigma ini secara mendasar. Transformasi konsep talak dalam Islam bukan hanya tentang pengaturan teknis hukum, tetapi menyentuh aspek etis, sosial, dan spiritual yang menjadikan relasi pernikahan lebih berkeadilan. Islam tidak sekadar membatasi jumlah talak, tetapi juga menata ulang cara pandang terhadap posisi perempuan dan relasi kuasa dalam rumah tangga.
Di masa jahiliah, talak hanyalah hak sepihak yang dimiliki oleh suami. Tidak ada batasan berapa kali seorang laki-laki bisa menceraikan istrinya. Bahkan selama masa iddah istri belum berakhir, suami bisa menceraikannya seribu kali dan tetap berhak merujuknya. Dengan kata lain, hukum adat pada saat itu membuka celah besar bagi kekuasaan mutlak laki-laki atas tubuh dan nasib perempuan.
Akibatnya, perempuan berada dalam posisi yang sangat tidak pasti. Mereka tidak bisa benar-benar lepas dari ikatan pernikahan meskipun sudah dicerai berkali-kali. Setiap kali masa iddah hampir habis, suami bisa merujuk kembali lalu menceraikan ulang. Begitu seterusnya, menciptakan siklus penderitaan tanpa henti. Dalam situasi seperti ini, perempuan hanya menjadi korban praktik kekuasaan patriarkal yang tidak memiliki kontrol hukum atau etika yang adil.
Islam hadir untuk mengubah praktik ini secara struktural dan moral. Dalam salah satu riwayat, seorang perempuan mendatangi Sayyidah Aisyah r.a. dan mengeluhkan tentang suaminya yang terus menceraikannya dan merujuk kembali tanpa niat membangun rumah tangga yang sehat. Aisyah lalu menyampaikan keluhan itu kepada Nabi Muhammad ï·º. Menanggapi kejadian ini, Allah menurunkan firman dalam QS. Al-Baqarah: 229 yang berbunyi:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.”
Ayat ini menjadi titik tolak reformasi konsep talak. Talak tidak lagi bersifat tidak terbatas. Islam membatasi jumlah talak hanya tiga kali dalam satu pernikahan. Dua kali pertama masih membuka kesempatan untuk rujuk selama iddah, tetapi talak ketiga merupakan pemutusan total (ba’in kubra) yang tidak bisa diperbaiki kecuali setelah perempuan menikah dengan laki-laki lain secara sah. Dengan batasan ini, suami tidak bisa lagi bermain-main dengan status hukum perempuan.
Talak dalam Islam bukan semata-mata tindakan hukum, tetapi juga tindakan etis yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Islam menekankan bahwa perpisahan harus dilakukan dengan ma’ruf (cara yang baik), dan tidak boleh digunakan untuk menyakiti atau menyiksa batin istri. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib mengomentari praktik jahiliah dengan menegaskan bahwa Islam datang untuk memutus pola kekuasaan yang menyimpang itu.
Keadilan dalam Islam bukan hanya soal membagi hak dan kewajiban, tetapi juga mencegah tindakan manipulatif dari salah satu pihak. Dalam konteks ini, pembatasan talak menjadi bentuk perlindungan terhadap martabat perempuan, serta pencegahan terhadap penyalahgunaan wewenang yang bisa merusak kehidupan rumah tangga. Hukum talak bukan untuk kepentingan suami, tapi untuk menjaga keseimbangan antara hak dan tanggung jawab.
Syekh Ahmad Thayyib, Mufti Darul Ifta Mesir, menjelaskan bahwa syariat Islam justru membuka jalan keadilan bagi perempuan melalui pengaturan talak. Islam memberikan hak bagi perempuan untuk keluar dari pernikahan yang sudah tidak sehat. Talak bukan hanya wewenang suami, tapi dalam kondisi tertentu perempuan pun bisa meminta perceraian lewat mekanisme khulu’.
Dengan demikian, perempuan bukan lagi sekadar objek dari keputusan suami, tapi menjadi subjek hukum yang memiliki hak perlindungan. Dari yang sebelumnya tidak punya jalan keluar dan terjebak dalam relasi yang menyakitkan, perempuan dalam sistem Islam memiliki akses legal dan moral untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Perubahan konsep talak dari tradisi jahiliah ke sistem Islam menunjukkan bahwa syariat bukan hanya alat hukum, tetapi juga gerakan pembebasan. Talak yang dulunya adalah simbol kekuasaan mutlak laki-laki, dalam Islam diubah menjadi mekanisme penyelesaian masalah yang etis dan adil. Pembatasan jumlah talak menjadi salah satu langkah penting Islam dalam menjaga martabat perempuan dan mencegah tirani dalam rumah tangga.
Dengan prinsip ini, Islam menegaskan bahwa pernikahan bukan tempat untuk mempertontonkan kuasa, tetapi ruang relasi saling menghormati dan bertanggung jawab. Revolusi konsep talak ini menjadi bukti bahwa hukum Islam sangat peduli pada perlindungan sosial dan martabat manusia, khususnya perempuan, yang pada masa lampau kerap diabaikan.
0 Komentar