Dalam UUD 1945, pendidikan dipandang sebagai hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, sedangkan ayat (2) mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan dasar. Bahkan, konstitusi juga menetapkan bahwa negara harus mengalokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan (ayat 4). Ketentuan ini menjadi tanda bahwa negara punya tanggung jawab besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada masa lalu, pendidikan lebih banyak dikuasai oleh pemerintah pusat. Namun setelah reformasi, paradigma itu berubah. Negara menyadari bahwa sistem yang terlalu sentralistik tidak mampu mengakomodasi keragaman kondisi sosial dan ekonomi di setiap daerah. Sejak saat itu, pendidikan dikelola dengan memberikan ruang lebih besar kepada daerah dan masyarakat agar bisa ikut berperan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kini, amanat konstitusi tersebut tetap berlaku tetapi tantangannya semakin kompleks. Dana pendidikan yang mencapai 20% APBN kerap dipertanyakan efektivitasnya. Sebagian besar dana terserap untuk belanja pegawai dan tunjangan, sementara perbaikan kualitas pembelajaran dan pemerataan sarana di daerah terpencil masih jauh dari harapan. Tantangan baru juga muncul dari pesatnya perkembangan teknologi digital yang menuntut sistem pendidikan bisa beradaptasi dengan cepat agar tidak tertinggal.
Reformasi membawa perubahan besar terhadap arah kebijakan pendidikan nasional. Salah satunya adalah adanya desentralisasi kewenangan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pendidikan tidak lagi sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat, tetapi sebagian besar kewenangan diberikan kepada daerah. Hal ini diikuti oleh kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang memberi keleluasaan bagi sekolah untuk mengambil keputusan penting sendiri, termasuk dalam pengelolaan dana dan kurikulum.
Selain itu, lahirlah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 yang menjadi payung hukum utama penyelenggaraan pendidikan. UU ini menegaskan bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif, dengan tujuan membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berilmu, dan berkarakter.
Namun di masa kini, pelaksanaan desentralisasi pendidikan ternyata menghadapi tantangan serius. Perbedaan kapasitas keuangan dan sumber daya manusia di setiap daerah membuat kualitas pendidikan menjadi tidak merata. Daerah yang memiliki anggaran besar bisa membangun infrastruktur pendidikan dengan baik, sedangkan daerah tertinggal sering kesulitan. Selain itu, perubahan kurikulum yang terlalu sering, seperti beralih ke Kurikulum Merdeka, membuat guru dan sekolah di banyak daerah kebingungan menyesuaikan diri.
Secara teori, politik hukum adalah strategi negara dalam membentuk dan melaksanakan hukum untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Mahfud MD, politik hukum menentukan arah dan isi hukum yang berlaku, termasuk dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat serta tantangan zaman.
Pada era reformasi, politik hukum pendidikan banyak diarahkan untuk mendukung desentralisasi. Namun saat ini, tantangannya berbeda. Pemerintah harus membangun politik hukum yang mampu mendukung transformasi digital pendidikan. Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran penting bahwa infrastruktur teknologi di Indonesia belum merata. Banyak sekolah di daerah pelosok tidak bisa mengikuti pembelajaran daring karena keterbatasan akses internet dan perangkat teknologi. Jika masalah ini tidak segera diatasi, kesenjangan mutu pendidikan akan semakin lebar.
Ke depan, politik hukum pendidikan harus fokus pada pemerataan akses digital. Hal ini tidak hanya soal jaringan internet, tetapi juga ketersediaan perangkat teknologi dan kompetensi guru dalam menggunakannya. Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh siswa, baik di kota maupun di desa, bisa mendapatkan hak pendidikan yang sama tanpa terkendala oleh teknologi.
Persoalan ketimpangan antara sekolah negeri dan swasta yang sudah ada sejak era reformasi masih terasa hingga sekarang. Sekolah swasta sering kali tidak mendapatkan dukungan dana yang memadai, padahal keberadaannya sangat membantu negara dalam menyediakan layanan pendidikan, terutama di daerah yang minim sekolah negeri.
Selain itu, metode pembelajaran di banyak sekolah juga masih cenderung menggunakan cara lama yang berorientasi pada hafalan (rote learning). Padahal, tantangan masa kini membutuhkan siswa yang kreatif, kritis, dan mampu beradaptasi. UNESCO sudah lama memperkenalkan empat pilar pendidikan yang seharusnya diterapkan, yaitu learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan), learning to live together (belajar untuk hidup bersama), dan learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri). Namun dalam praktiknya, banyak sekolah belum bisa menerapkan hal tersebut dengan optimal.
Kesenjangan mutu pendidikan juga semakin terlihat antara daerah maju dan daerah tertinggal. Fasilitas, tenaga pengajar, dan akses ke sumber belajar yang tidak merata membuat peluang siswa untuk meraih prestasi juga berbeda. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang merata.
Untuk menghadapi tantangan masa kini, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pendidikan yang sudah ada. Sekolah swasta harus mendapatkan dukungan yang setara dengan sekolah negeri, terutama dalam hal bantuan dana dan peningkatan fasilitas. Pemerataan akses pendidikan di seluruh daerah juga harus menjadi prioritas agar tidak ada siswa yang tertinggal hanya karena faktor geografis atau ekonomi.
Selain itu, transformasi metode pembelajaran juga sangat penting. Guru harus diberi pelatihan yang memadai untuk menggunakan metode yang lebih interaktif dan berorientasi pada pengembangan keterampilan hidup siswa. Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada capaian akademik, tetapi juga harus menanamkan karakter dan kemampuan yang dibutuhkan di era global.
Jika semua ini dapat diwujudkan, tujuan pendidikan nasional yang sudah diamanatkan dalam konstitusi bisa benar-benar tercapai. Pendidikan akan menjadi instrumen utama untuk mencetak generasi yang cerdas, berkarakter, dan mampu menghadapi tantangan zaman. Dengan politik hukum yang tepat, Indonesia dapat mewujudkan sistem pendidikan yang merata, berkualitas, dan relevan dengan perkembangan dunia.
0 Komentar