Negara hukum merupakan suatu konsep yang sejak lama diperjuangkan dalam sejarah umat manusia. Gagasan ini dibangun untuk memastikan kekuasaan dijalankan tidak secara sewenang-wenang, melainkan berdasarkan aturan hukum yang adil dan rasional. Konsep tersebut menuntut agar semua pihak—termasuk penguasa—tunduk kepada hukum. Dalam pandangan Islam, negara hukum tidak hanya soal penegakan aturan formal, tapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai kejujuran, keadilan, amanah, dan tanggung jawab yang bersumber dari ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Secara umum, ide negara hukum muncul sebagai respons terhadap kekuasaan absolut yang menindas rakyat. Di Eropa misalnya, muncul istilah Rechtsstaat dan rule of law, sedangkan dalam Islam dikenal konsep nomokrasi Islam—sebuah tatanan bernegara yang berdasarkan hukum Allah. Dalam sistem ini, kekuasaan dianggap sebagai anugerah dari Tuhan yang harus dijalankan sesuai petunjuk-Nya. Kalau kekuasaan digunakan secara zalim atau menyimpang, maka nilainya bukan lagi rahmat, tapi berubah menjadi musibah bagi rakyat.
Islam tidak menetapkan bentuk negara secara eksplisit, tetapi memberikan prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan kekuasaan, seperti musyawarah, keadilan, perlindungan hak asasi, dan transparansi. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah memimpin komunitas Muslim di Madinah melalui Piagam Madinah, yang sering disebut sebagai cikal bakal negara hukum dalam Islam.
Dalam sejarah pemikiran politik, tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Immanuel Kant sudah membahas pentingnya hukum dalam mengontrol kekuasaan. Namun, pemikiran mereka masih memiliki kelemahan karena tidak mengikat penguasa secara tegas. Berbeda dengan Islam yang menekankan bahwa penguasa pun harus tunduk kepada hukum Allah.
Di sisi lain, hukum dalam pandangan Barat berkembang menjadi sistem sekuler—memisahkan agama dari hukum dan negara. Padahal, Islam justru menyatukan ketiganya. Dalam Al-Qur’an, ajaran agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mencakup hubungan sosial, politik, dan ekonomi. Jadi, dalam konteks Islam, tidak bisa memisahkan agama dari hukum dan pemerintahan.
Dalam Islam, ada tiga bentuk hukum utama yang jadi acuan:
-
Syariat: hukum yang langsung bersumber dari wahyu Allah dan sunnah Rasul, sifatnya tetap dan tidak berubah. Contohnya seperti perintah salat, zakat, puasa, dan haji.
-
Fiqih: hasil ijtihad para ulama terhadap dalil-dalil syariat, sehingga sifatnya dinamis dan bisa berkembang sesuai konteks zaman.
-
Qanun: hukum positif yang dibuat oleh lembaga negara, selama tidak bertentangan dengan syariat. Ini sering disebut juga sebagai produk siyasah syar’iyyah.
Dalam prinsip musyawarah Islam, yang diutamakan bukan suara terbanyak seperti dalam sistem demokrasi liberal, tetapi kebijakan yang mengutamakan kemaslahatan umat. Oleh karena itu, setiap pendapat dalam musyawarah dipertimbangkan bukan berdasarkan siapa yang bicara, tapi apa yang disampaikan.
Dalam Islam, agama dan negara adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Al-Qur’an mengatur urusan ibadah sekaligus urusan sosial, ekonomi, hingga politik. Maka dari itu, membangun negara hukum dalam perspektif Islam berarti juga membangun tatanan masyarakat yang adil, sejahtera, dan beradab berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.
Pendekatan sekuler di Barat sering menempatkan agama sebagai urusan pribadi, tapi dalam Islam, agama adalah sistem hidup yang menyeluruh (syamil). Ini terbukti dari dokumen-dokumen awal seperti Piagam Madinah yang memuat prinsip hidup bersama antarumat beragama, keadilan sosial, serta penghormatan terhadap hak dan kewajiban setiap warga.
Negara hukum dalam pandangan Islam bukan sekadar sistem yang legal-formal, tapi juga spiritual dan etis. Hukum bukan hanya dibuat dan ditegakkan oleh manusia, tapi juga harus selaras dengan kehendak Tuhan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim, unsur-unsur hukum Islam sangat relevan dan dapat memberi kontribusi besar dalam pembangunan hukum nasional, tentu dengan pendekatan yang inklusif dan berwawasan kebangsaan.
0 Komentar