
Masalahnya bukan soal acara atau niat baik dari warga yang menggelar kegiatan. Masalah muncul ketika suara yang ditimbulkan menjadi sangat mengganggu. Bising, menyentak, dan kadang berlangsung hingga larut malam. Warga yang sedang sakit, anak-anak yang sedang belajar, lansia, atau siapa pun yang butuh suasana tenang menjadi korban dari suara yang tidak mereka minta.
Penelitian terbaru mengingatkan kita pada pentingnya sikap tengah, tidak berlebihan dalam berekspresi, termasuk dalam bersuara. Dalam pandangan keagamaan pun, kebisingan yang melampaui batas dianggap mengganggu harmoni sosial dan tidak sesuai dengan prinsip moderasi. Bahkan Al-Qur’an sendiri menganjurkan umat manusia untuk tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk dalam bersuara.
Dari sisi hukum, fenomena ini jelas perlu perhatian. Saat ini memang belum ada aturan khusus soal sound horeg, tapi banyak pasal yang bisa digunakan untuk menertibkannya, seperti soal ketertiban umum, gangguan lingkungan, atau pelanggaran hak atas kenyamanan orang lain. Karena itu, penanganan masalah ini tak cukup hanya dengan keluhan warga. Dibutuhkan kebijakan yang adil dan jelas.
Idealnya, pemerintah daerah mulai menyusun aturan soal penggunaan sound system di ruang publik. Misalnya, menetapkan jam penggunaan, membatasi tingkat kebisingan, atau membuat zona khusus untuk kegiatan yang menggunakan perangkat suara besar. Edukasi ke masyarakat juga penting, supaya semua pihak sadar bahwa hak berekspresi tetap harus menghormati hak orang lain.
Sound horeg sebenarnya bukan musuh. Ia hanya butuh ruang dan aturan yang sesuai. Jika diatur dengan bijak, ia bisa tetap menjadi bagian dari budaya kita tanpa merugikan siapa pun. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah kesadaran, saling pengertian, dan sedikit kendali pada tombol volume.
Fenomena sound horeg memang tak bisa sekadar dilihat sebagai soal selera atau kebiasaan warga. Di balik dentuman musik dan semangat kolektif yang menyertainya, terdapat tanggung jawab hukum dan nilai moral yang harus menjadi pegangan. Dalam perspektif keagamaan, Al-Qur’an telah memberikan rambu yang sangat jelas. Surat Al-A’raf ayat 31 menegaskan agar manusia tidak berlebihan dalam bertindak, termasuk dalam hal bersuara, karena Allah tidak menyukai segala bentuk yang melampaui batas. Lebih tegas lagi, dalam Surat Luqman ayat 19, kita diingatkan untuk melunakkan suara, karena suara yang keras dan membisingkan diibaratkan seperti suara keledai—sebuah perumpamaan yang kuat agar manusia menjaga adab dalam berekspresi.
Nilai-nilai tersebut sejalan dengan semangat hukum positif kita. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut secara eksplisit bahwa kebisingan termasuk kategori pencemaran non-fisik yang harus dicegah. Pasal 69 ayat (1) huruf e secara tegas melarang perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, termasuk dalam bentuk suara. Untuk menegaskan batas-batas teknis, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 bahkan telah menetapkan ambang batas kebisingan di area permukiman dan fasilitas umum.
Dari sisi ketertiban umum, KUHP pun menyediakan dasar hukum melalui Pasal 503 dan 504 yang memungkinkan aparat menindak keramaian yang mengganggu ketenteraman. Di tingkat lokal, berbagai pemerintah daerah juga telah memiliki Perda Ketertiban Umum, seperti Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 yang pada Pasal 13 melarang penggunaan pengeras suara di luar ruangan apabila mengganggu lingkungan sekitar.
Dengan demikian, penertiban terhadap sound horeg bukanlah bentuk pembungkaman kreativitas masyarakat, melainkan langkah hukum dan moral yang sah untuk menjaga kenyamanan bersama. Tradisi dan teknologi harus bisa berdamai dengan hak-hak warga lain. Ketika agama, hukum, dan akal sehat bersuara seirama, barulah masyarakat bisa merayakan kebebasannya tanpa mencederai orang lain.
0 Komentar