Sejak lahir, manusia memang diciptakan berbeda, laki-laki dan perempuan punya kodrat masing-masing. Tapi, bukan berarti perbedaan itu boleh jadi alasan untuk berlaku tidak adil. Di atas kertas, hukum bilang semua orang setara. Tapi dalam praktiknya, perempuan masih sering jadi pihak yang dirugikan, khususnya dalam urusan kekerasan dan ketimpangan sosial.
Diskriminasi yang dialami perempuan ini sebenarnya bukan hal baru. Ia sudah muncul sejak zaman kuno, bahkan terus dipelihara oleh sistem sosial yang patriarkal. Artinya, laki-laki lebih dominan dan punya kuasa lebih besar di berbagai sektor, termasuk dalam penyusunan hukum. Hal ini menjadikan hukum jadi tidak netral, malah cenderung berpihak pada yang kuat (baca:laki-laki).
Kita sering dengar kalimat “semua orang sama di depan hukum”, tapi apakah kenyataannya memang begitu? Kalau hukum hanya ngasih perlakuan yang sama buat semua orang tanpa mempertimbangkan kondisi mereka, justru bisa timbul ketidakadilan. Contohnya, perempuan yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa diperlakukan sama seperti pelaku atau orang lain yang kuat secara sosial dan ekonomi.
Mari bersepakat bahwa hukum yang adil bukan berarti semua orang harus diperlakukan sama persis, tapi hukum harus mampu membaca situasi tiap individu. Keadilan itu bukan soal membagi rata, tapi soal membagi sesuai kebutuhan dan kondisi masing-masing. Di sinilah pentingnya diskriminasi dalam arti positif artinya membedakan demi keadilan.
Biasanya diskriminasi dianggap buruk. Tapi di dunia hukum, diskriminasi kadang justru penting untuk mencapai keadilan. Hukum memang punya aturan umum, tapi dalam kenyataannya, setiap kasus punya konteks sosial yang berbeda. Itulah kenapa pendekatan hukum yang terlalu kaku dan netral bisa jadi menindas kelompok tertentu, terutama perempuan.
Teori hukum juga membagi dua pendekatan besar: satu yang melihat hukum sebagai aturan tetap (jurisprudensial), dan satu lagi yang melihat hukum sebagai hasil dari kondisi sosial (sosiologis). Pendekatan yang kedua ini lebih realistis karena menyadari bahwa kondisi sosial seseorang sangat memengaruhi bagaimana hukum seharusnya bekerja. Misalnya, perempuan yang hidup dalam budaya patriarki jelas tidak punya posisi tawar yang setara saat mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Gerakan feminis muncul untuk melawan cara pandang hukum yang selama ini hanya dibentuk oleh laki-laki. Para feminis menyebut bahwa hukum punya “wajah laki-laki”, karena nilainya dibangun dari cara berpikir maskulin: rasional, logis, dan kadang mengabaikan emosi serta pengalaman personal.
Gerakan ini berkembang lewat teori hukum feminis yang punya banyak cabang, mulai dari feminis liberal yang menuntut kesetaraan peluang, feminis radikal yang menyebut bahwa hukum tidak bisa netral karena dibentuk oleh yang berkuasa, hingga feminis postmodern yang melihat perempuan sebagai “yang lain” yang cara berpikir dan bahasanya tidak dimengerti oleh sistem hukum yang maskulin.
Semua cabang feminisme itu sepakat bahwa hukum selama ini lebih sering menyisihkan perempuan, bukan karena niat jahat, tapi karena hukum tidak mengakomodasi pengalaman dan kenyataan hidup mereka.
Sebagai negara yang meratifikasi Konvensi CEDAW, Indonesia punya kewajiban untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, negara diminta tidak cuma membuat aturan yang setara secara teori (de jure), tapi juga menjamin hasil yang adil secara nyata (de facto).
Di antaranya dengan menyusun peraturan yang memihak perempuan, mencabut aturan diskriminatif, dan memastikan bahwa sektor publik maupun privat (seperti keluarga) tidak jadi tempat kekerasan. Salah satu bentuk nyata dari kebijakan ini adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
KDRT sering dianggap urusan pribadi. Tapi faktanya, banyak perempuan jadi korban kekerasan di tempat yang seharusnya paling aman: rumah sendiri. Undang-undang PKDRT mencoba memperluas makna kekerasan, tidak hanya fisik, tapi juga psikis, seksual, dan ekonomi. Undang-undang ini juga secara terang-terangan menyebut bahwa korban utamanya adalah perempuan.
Kenapa KDRT sering tidak dilaporkan? Karena banyak faktor, seperti ketergantungan ekonomi, tekanan sosial, atau mitos budaya yang bilang perempuan harus sabar. Bahkan ajaran agama juga kadang disalahpahami dan dijadikan pembenaran untuk diam.
Hukum pidana sebenarnya sudah punya aturan soal kekerasan, tapi sifatnya terlalu umum. Misalnya, pembunuhan diatur untuk siapa saja, tanpa mempertimbangkan apakah korban perempuan, anak, atau kelompok rentan lainnya. Akibatnya, tidak ada perlindungan khusus yang mengakui posisi perempuan yang lebih rentan.
Hukum pidana juga cenderung fokus pada pelaku dan perbuatannya, bukan pada korban. Padahal, studi viktimologi mengingatkan bahwa korban juga butuh perhatian, perlindungan, bahkan pemulihan dari trauma. Hukum harus lebih dari sekadar menghukum pelaku; hukum juga harus hadir untuk menyembuhkan korban.
Perempuan punya pengalaman hidup yang unik, dan hukum harus bisa mengakomodasi itu. Perlindungan hukum tidak cukup hanya dengan pasal-pasal yang netral. Negara harus aktif membela yang lemah, bukan menunggu semuanya disamakan dulu.
Diskriminasi positif diperlukan agar perempuan bisa merasa aman dan dihargai. Kita butuh hukum yang lebih peka, lebih manusiawi, dan benar-benar hadir untuk semua. Karena keadilan bukan berarti sama rata, tapi memberi sesuai hak dan kebutuhannya.
0 Komentar