Fokus Kajian

Menyingkap Luka Sunyi: Perkawinan Anak dan Renungan Psikologis

Di banyak sudut negeri ini, masih sering terdengar kisah tentang anak perempuan yang kehilangan masa remajanya, diserahkan kepada ikatan perkawinan yang lebih banyak dipaksakan oleh keadaan ketimbang keinginan. Perkawinan anak bukan hanya soal usia; ia menyimpan potret ketimpangan kekuasaan, ketidakadilan gender, dan ketidakhadiran negara dalam menjamin masa depan anak-anaknya. Praktik ini, meski kerap dibungkus dengan dalih budaya atau agama, sesungguhnya menyimpan luka sosial yang dalam—khususnya bagi anak perempuan.

Dalam banyak kasus, perkawinan anak bukanlah pilihan bebas dari mereka yang menjalaninya. Ia lahir dari tekanan sosial, himpitan ekonomi, dan norma-norma patriarki yang masih mengakar kuat. Di tengah keterbatasan pendidikan dan minimnya informasi, keluarga kerap melihat perkawinan sebagai jalan pintas untuk 'menyelamatkan' anak perempuan mereka—dari aib, kemiskinan, atau bahkan dari ketidakpastian masa depan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: anak perempuan kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan yang layak, terjebak dalam hubungan yang tidak setara, dan menghadapi risiko kesehatan reproduksi yang tidak ringan.

Upaya negara dalam merespons persoalan ini sebenarnya telah terlihat, salah satunya melalui revisi Undang-Undang Perkawinan yang menyamakan batas usia minimal kawin menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 menjadi tonggak penting dalam menegaskan bahwa ketimpangan usia kawin sebelumnya telah merugikan anak perempuan secara sistemik. Namun, celah hukum masih terbuka melalui mekanisme dispensasi nikah yang bisa diajukan ke Pengadilan Agama. Di sinilah seringkali persoalan justru dimulai: regulasi yang sejatinya melindungi, bisa berubah menjadi pintu masuk legalisasi praktik yang merugikan.

Dalam realitas sosial, hukum acap kali kalah oleh norma adat. Banyak komunitas masih menjadikan kehormatan keluarga sebagai pertimbangan utama, dan mengabaikan kesiapan psikis, fisik, dan sosial anak. Tak jarang, korban kekerasan seksual justru dipaksa menikah dengan pelaku demi menjaga nama baik keluarga. Di hadapan tradisi yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang 'diserahkan', hukum seringkali hanya menjadi teks yang kehilangan nyawa.

Pendidikan menjadi kunci utama yang terbukti efektif mencegah perkawinan anak. Anak perempuan yang tetap bersekolah memiliki kemungkinan lebih besar menunda perkawinan, memahami hak-haknya, dan menentukan arah hidupnya. Sayangnya, dalam banyak wilayah marginal, sekolah masih dianggap beban, bukan jalan keluar. Mereka yang seharusnya duduk di bangku sekolah, justru dipaksa mengurus rumah tangga sebelum waktunya.

Tak hanya berdampak pada pendidikan, perkawinan anak juga membawa risiko serius terhadap kesehatan reproduksi. Tubuh yang belum matang untuk hamil, serta kurangnya akses terhadap layanan kesehatan yang ramah remaja, menempatkan anak perempuan pada situasi yang mengancam nyawa. Di sisi lain, akses informasi yang minim tentang hak-hak reproduksi memperparah keadaan, menjadikan mereka semakin rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Regulasi seperti UU Perlindungan Anak dan ratifikasi terhadap Konvensi CEDAW memang menjadi bukti komitmen negara. Namun, implementasi kebijakan tersebut sering tidak menyentuh akar persoalan. Hukum bisa tertulis dengan indah, tetapi jika tidak dibarengi dengan edukasi publik, pelatihan aparat hukum, dan penguatan komunitas akar rumput, maka keberadaannya hanya simbol.

Norma gender tradisional—yang menempatkan perempuan sebagai pihak pasif, tunduk, dan tak punya kuasa dalam pengambilan keputusan hidupnya—masih menjadi batu besar penghalang perubahan. Butuh kerja kolaboratif lintas sektor: antara pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, serta tokoh agama dan adat untuk menantang narasi lama dan membangun pemahaman baru yang berpihak pada anak.

Pada akhirnya, persoalan perkawinan anak tidak dapat diselesaikan hanya dari ruang sidang atau kursi legislatif. Ia perlu disentuh dengan empati, dilihat dengan perspektif anak, dan ditangani melalui pendekatan yang holistik. Kita tidak hanya sedang bicara tentang angka usia atau baris pasal hukum. Kita sedang bicara tentang masa depan, tentang hak untuk tumbuh, bermimpi, dan menentukan jalan hidup sendiri. Maka dari itu, menghapus praktik perkawinan anak adalah tentang memanusiakan anak-anak kita, bukan sekadar melindungi mereka dari risiko.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close