![]() |
Pendekatan ini muncul sebagai alternatif dari sistem peradilan pidana formal yang sering dianggap berbelit, kaku, dan tidak berpihak pada korban. Melalui keadilan restoratif, pelaku dan korban didorong untuk berdialog, menyelesaikan konflik secara damai, dan menekankan pada pemulihan hubungan sosial. Namun, apakah pendekatan ini cukup efektif dalam konteks kekerasan yang sifatnya struktural dan tidak setara seperti KDRT?
Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan keadilan restoratif mulai dilirik sebagai metode penyelesaian perkara pidana ringan, termasuk beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga. Tujuannya bukan untuk menggugurkan sanksi, melainkan menciptakan proses penyelesaian yang lebih berkeadilan—terutama bagi korban.
Di Kota Bogor, penerapan pendekatan ini ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Bogor Kota. Unit ini menjadi ujung tombak dalam penanganan kasus KDRT yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban. Pada tahun 2023 saja, tercatat sebanyak 145 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebagian besar diselesaikan melalui jalur mediasi atau pendekatan kekeluargaan.
Model keadilan restoratif yang digunakan Unit PPA melibatkan tiga tahap utama: mediasi penal, dialog pelaku-korban, dan pembuatan kesepakatan bersama. Langkah ini bertujuan mendorong pelaku mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memperbaiki perbuatannya, sementara korban diberi ruang untuk menyuarakan perasaan dan menegaskan hak-haknya. (Revo Perkasa, J. Jopie Gilalo, Hidayat Rumatiga -KARIMAH TAUHID)
Meski tampak ideal, penerapan restorative justice dalam kasus KDRT tidak luput dari kritik. Salah satu tantangan utamanya adalah ketimpangan relasi antara pelaku dan korban. Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi korban berada dalam posisi yang lemah secara ekonomi, psikologis, maupun sosial. Mereka sering kali tidak punya pilihan lain selain “memaafkan” karena takut dikucilkan, takut anaknya kehilangan ayah, atau karena tekanan dari keluarga dan masyarakat.
Situasi ini sangat rentan menimbulkan mediasi yang tidak setara. Korban bisa merasa terpaksa menerima perdamaian tanpa pemulihan yang sebenarnya. Dalam kondisi seperti ini, keadilan restoratif bisa berubah menjadi alat kompromi yang justru melanggengkan kekerasan.
Di sisi lain, aparat penegak hukum yang terbatas secara jumlah maupun kapasitas juga menjadi hambatan. Unit PPA, misalnya, hanya memiliki sedikit personel untuk menangani puluhan kasus per tahun, dengan intensitas pendampingan yang idealnya memerlukan waktu dan kepekaan tinggi.
Belum lagi minimnya dukungan fasilitas, seperti tempat perlindungan sementara, layanan konseling yang berkelanjutan, dan koordinasi antarinstansi. Semua ini menunjukkan bahwa pendekatan restoratif dalam kasus KDRT memerlukan sistem pendukung yang kuat, bukan hanya kemauan berdamai di atas kertas.
Meski penuh tantangan, tidak bisa dipungkiri bahwa pendekatan restorative justice juga memiliki kelebihan. Ia bisa menghindari proses hukum yang panjang dan melelahkan bagi korban, apalagi jika korban merasa trauma untuk bersaksi di pengadilan. Dalam beberapa kasus, model dialog justru membantu korban untuk mendapatkan pemulihan emosional lebih cepat, terutama jika pelaku benar-benar menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku.
Selain itu, pendekatan ini juga menghindari stigmatisasi sosial yang biasa terjadi dalam proses peradilan formal. Bagi perempuan korban KDRT, melaporkan suami ke polisi masih sering dianggap “memalukan” atau “melawan suami”. Restoratif justice bisa menjadi jalan tengah yang menjaga privasi, sambil tetap berusaha menciptakan keadilan dan rasa aman bagi korban.
Namun demikian, agar pendekatan ini tidak menjadi bumerang, perlu adanya batasan yang jelas: tidak semua kasus KDRT layak diselesaikan dengan jalur damai. Kasus yang berulang, pelaku yang tidak menunjukkan penyesalan, atau kekerasan berat tetap harus diproses melalui jalur hukum formal.
Restorative justice dalam kasus KDRT terhadap perempuan adalah pendekatan yang menjanjikan, tetapi tidak bebas dari risiko. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial korban, komitmen aparat penegak hukum yang berpihak pada korban, serta sistem perlindungan yang mendukung proses pemulihan secara menyeluruh.
Keadilan bukan hanya soal siapa bersalah dan siapa dihukum, tapi juga soal bagaimana korban mendapatkan rasa aman dan pulih sebagai manusia. Dalam konteks KDRT, keadilan restoratif harus dimaknai bukan sebagai pintu keluar dari proses hukum, tetapi sebagai jalur tambahan yang bersyarat dan hanya berlaku jika benar-benar berpihak pada korban.
0 Komentar