Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia sudah mengenal metode penyelesaian konflik melalui musyawarah dan mufakat. Cara ini digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam menghadapi sengketa yang bisa muncul karena berbagai hal seperti perbedaan pendapat, konflik kepentingan, atau pelanggaran hak. Metode yang kemudian dikenal sebagai mediasi ini, pada dasarnya telah menjadi bagian dari sistem penyelesaian sengketa tradisional yang mengutamakan nilai-nilai kekeluargaan dan keadilan sosial.
Dalam perkembangannya, mediasi tidak hanya dilakukan secara informal di lingkungan masyarakat adat, tetapi juga telah diadopsi secara formal dalam sistem hukum nasional, baik dalam bentuk mediasi di luar pengadilan (non-litigasi) maupun di dalam pengadilan (litigasi). Kedua bentuk mediasi ini memiliki landasan hukum, tata cara, serta kekuatan hukum yang berbeda, namun sama-sama bertujuan menyelesaikan sengketa secara damai tanpa melalui proses pengadilan yang panjang dan mahal.
Mediasi termasuk dalam kategori Alternative Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif. Konsep ini pertama kali berkembang di Amerika Serikat sebagai bentuk respons terhadap ketidakpuasan masyarakat atas proses peradilan yang lambat, mahal, dan seringkali tidak memuaskan. Di Indonesia sendiri, nilai-nilai ADR seperti mediasi sangat sesuai dengan budaya lokal yang mengedepankan musyawarah.
Salah satu keunggulan utama mediasi dibandingkan litigasi adalah sifatnya yang lebih fleksibel, cepat, murah, dan rahasia. Dalam proses mediasi, pihak-pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang mediator netral yang tidak memiliki wewenang untuk memutus perkara, tetapi berperan sebagai fasilitator yang mendorong dialog terbuka dan solusi damai. Proses ini memungkinkan munculnya kesepakatan bersama yang memuaskan semua pihak atau dikenal sebagai win-win solution.
1. Mediasi di Luar Pengadilan
Mediasi di luar pengadilan secara hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam UU ini disebutkan bahwa jika negosiasi antar pihak tidak membuahkan hasil, maka mereka dapat menunjuk pihak ketiga netral sebagai mediator. Tujuan dari mediasi ini adalah untuk menemukan solusi terbaik yang menguntungkan kedua belah pihak.
Mediasi semacam ini sering dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta seperti Pusat Mediasi Nasional atau oleh mediator independen. Prosesnya tidak formal, tidak terbuka untuk umum, dan hasilnya berupa kesepakatan damai yang dituangkan secara tertulis. Namun, secara hukum, hasil mediasi di luar pengadilan hanya memiliki kekuatan sebagai perjanjian biasa (kontrak), kecuali kemudian diajukan ke pengadilan untuk dikukuhkan menjadi akta perdamaian.
2. Mediasi di Pengadilan
Berbeda dengan mediasi di luar pengadilan, mediasi di pengadilan adalah bagian dari proses hukum perdata yang terintegrasi dengan proses beracara. Sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 (dan diperbarui dengan PERMA No. 1 Tahun 2016), setiap perkara perdata wajib melalui tahap mediasi terlebih dahulu sebelum dilanjutkan ke pokok perkara.
Dalam mediasi ini, hakim menunjuk seorang mediator (bisa dari hakim atau pihak luar yang tersertifikasi), dan para pihak diberi waktu maksimal 30 hari untuk mencapai kesepakatan. Jika mediasi berhasil, maka kesepakatan itu dituangkan dalam akta perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak serta mediator, lalu dikukuhkan oleh hakim sebagai putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
3. Perbandingan:
Dari segi proses, mediasi di luar pengadilan memberikan kebebasan lebih besar kepada para pihak karena tidak terikat prosedur hukum formal. Sementara itu, mediasi di pengadilan memiliki tahapan yang diatur ketat oleh PERMA, termasuk kewajiban pelaporan dan pengawasan dari hakim.
Namun, dari segi kekuatan hukum, mediasi di pengadilan lebih kuat karena kesepakatan damai yang dihasilkan dapat langsung memiliki kekuatan eksekusi setara dengan putusan hakim. Sebaliknya, hasil mediasi di luar pengadilan hanya berlaku seperti kontrak biasa dan belum dapat langsung dieksekusi jika salah satu pihak ingkar janji—kecuali jika dikukuhkan oleh pengadilan.
Prinsip-Prinsip dalam Mediasi
Terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dijaga dalam mediasi, yaitu:
-
Kerahasiaan: Proses mediasi bersifat tertutup dan hanya diketahui oleh para pihak dan mediator.
-
Kesukarelaan: Para pihak harus mengikuti proses secara suka rela, tanpa paksaan.
-
Netralitas: Mediator harus menjaga sikap netral, tidak memihak siapa pun.
-
Pemberdayaan: Mediasi memberi ruang bagi para pihak untuk menentukan sendiri solusi yang mereka inginkan.
-
Solusi Unik: Hasil mediasi tidak harus mengikuti standar hukum formal, melainkan bisa berupa kesepakatan yang kreatif dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pihak.
0 Komentar