Fokus Kajian

Marak PHK: Kajian Empiris Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM)

Di tengah dinamika dunia kerja yang semakin kompleks, hubungan antara perusahaan dan pekerja kadang kala tidak berjalan mulus. Salah satu persoalan krusial yang kerap terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada nasib para pekerja, tetapi juga berkaitan erat dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Pekerja yang terkena PHK sepihak umumnya mengalami guncangan secara sosial, ekonomi, bahkan psikologis. Hal ini menjadi sorotan penting karena secara hukum, setiap individu berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan jaminan penghidupan yang manusiawi.

Secara hukum, hubungan kerja terbentuk dari kesepakatan antara pekerja dan perusahaan dalam bentuk perjanjian kerja. Dalam kontrak ini terdapat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Salah satu hak utama pekerja adalah mendapatkan upah dan pesangon ketika hubungan kerja berakhir. Namun, sering kali dalam praktiknya, perusahaan melakukan PHK secara sepihak tanpa memberi kompensasi yang layak.

Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja telah menegaskan bahwa PHK harus didasari alasan yang objektif serta wajib melalui tahapan perundingan terlebih dahulu. Jika sampai terjadi PHK sepihak tanpa alasan yang jelas, itu sudah termasuk pelanggaran hukum dan HAM. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan ini juga dikuatkan oleh Pasal 23 dan 26 dalam Deklarasi Universal HAM yang menyatakan hak setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan perlindungan dari pengangguran.

Ketika PHK tidak bisa dihindari, maka upah dan pesangon menjadi bentuk penghormatan atas jasa dan pengabdian pekerja. Sayangnya, dalam banyak kasus, perusahaan tidak memenuhi kewajiban ini. Banyak buruh yang diberhentikan begitu saja tanpa pesangon atau bahkan tanpa penjelasan memadai. Hal ini menambah beban psikologis dan ekonomi para korban PHK.

Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa setiap pekerja bukan hanya tulang punggung operasional perusahaan, tetapi juga manusia yang memiliki martabat. Maka, jika hak-haknya dilanggar, hal itu mencerminkan kegagalan sistem hukum dan pengawasan negara terhadap perlindungan pekerja. Dalam kondisi seperti ini, pekerja bisa menggugat melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, namun akses terhadap keadilan pun sering kali tidak mudah.

PHK sepihak berdampak luas, bukan hanya pada individu yang diberhentikan, tapi juga pada masyarakat secara umum. Ketika seseorang kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba, maka otomatis pendapatannya terhenti. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan ekonomi rumah tangga, menurunnya kualitas pendidikan anak, bahkan kehilangan tempat tinggal jika sebelumnya tinggal di fasilitas perusahaan.

Banyak korban PHK yang akhirnya harus bekerja serabutan, menjadi buruh harian lepas, petani, atau nelayan, yang penghasilannya tidak tetap. Ketidakpastian ini memicu stres dan tekanan mental. Dalam beberapa kasus, bisa berujung pada tindakan kriminal akibat desakan ekonomi. Di sisi lain, meningkatnya jumlah pengangguran karena PHK juga menjadi beban negara karena menurunkan produktivitas nasional.

Aspek lain yang penting adalah dampak PHK pada pendidikan anak. Ketika orang tua yang menjadi tulang punggung keluarga kehilangan pekerjaan, maka biaya sekolah anak pun menjadi terancam. Banyak keluarga yang akhirnya harus menyekolahkan anaknya hanya sampai tingkat dasar atau menengah saja, karena tidak mampu melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Hal ini sangat ironis, mengingat pendidikan adalah salah satu hak dasar manusia.

Deklarasi Universal HAM Pasal 26 menyebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama untuk menentukan pendidikan anak-anak mereka. Namun dalam praktiknya, hak ini sulit diwujudkan jika ekonomi keluarga ambruk akibat PHK yang tidak manusiawi.

Dalam menghadapi fenomena PHK sepihak, perlindungan hukum harus ditegakkan. Undang-undang sudah cukup jelas dalam mengatur prosedur dan hak pekerja. Tapi dalam implementasinya masih sering ditemukan celah hukum yang dimanfaatkan pengusaha untuk menghindari tanggung jawab. Oleh karena itu, pengawasan pemerintah dan penegakan hukum harus lebih kuat, agar tidak terjadi ketimpangan antara kekuatan pengusaha dan posisi tawar pekerja.

Prinsip perlindungan kerja harus menjunjung tinggi nilai keadilan, keberadaban, dan kepastian hukum. PHK tidak boleh menjadi dalih untuk memperlakukan pekerja seperti mesin yang habis pakai. Justru sebaliknya, proses PHK harus menjadi proses penghormatan terhadap jasa pekerja, dan dilakukan secara adil serta manusiawi.

PHK sepihak bukan hanya persoalan ketenagakerjaan, tetapi juga persoalan kemanusiaan. Di tengah tantangan dunia kerja modern, seperti kemajuan teknologi dan krisis global, hak-hak pekerja tetap harus dijaga dan dihormati. Negara, pengusaha, dan masyarakat harus bersama-sama memastikan bahwa hak atas pekerjaan, upah yang layak, serta perlindungan dari pengangguran bukan sekadar slogan, tapi benar-benar dilaksanakan. Karena di balik setiap pekerja, ada keluarga dan masa depan yang harus diperjuangkan.

0 Komentar

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close