Fenomena kawin sirri atau pernikahan tidak tercatat masih sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Meskipun dianggap sah secara agama karena telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam Islam, pernikahan jenis ini seringkali menimbulkan masalah dari sisi hukum negara. Hal ini menciptakan jarak antara hukum positif dan hukum Islam dalam praktik pernikahan. Dalam konteks inilah, konsep maqashid syariah atau tujuan utama dari hukum Islam menjadi penting untuk dibahas, terutama terkait pernikahan dan pencatatannya secara resmi.
Banyak orang menganggap bahwa selama pernikahan sah secara agama—yakni ada wali, saksi, dan ijab kabul—maka tidak masalah meski tidak dicatatkan secara hukum negara. Padahal, dari sudut pandang hukum nasional, pernikahan tanpa pencatatan bisa dianggap tidak pernah terjadi, sehingga hak-hak istri dan anak dalam pernikahan itu bisa terabaikan.
Padahal, kalau kita bicara maqashid syariah, tujuan utama dari syariat Islam bukan hanya sekadar mengikuti hukum formal ibadah, tapi juga memastikan bahwa hukum itu membawa kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Dalam konteks pernikahan, pencatatan bukanlah sekadar administratif, melainkan bagian dari upaya menjaga hak-hak manusia, terutama perempuan dan anak.
Dalam Islam, maqashid syariah memiliki lima pokok utama: menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Kalau kita lihat, pencatatan pernikahan sebenarnya erat kaitannya dengan perlindungan atas keturunan dan harta. Misalnya, jika pernikahan tidak dicatat, maka ketika terjadi perceraian, hak waris atau harta bersama bisa jadi tidak diakui negara. Anak dari pernikahan itu pun bisa kesulitan mendapatkan pengakuan hukum.
Jadi, pencatatan nikah bisa dilihat sebagai bagian dari maqashid syariah dalam menjaga nasab dan hak-hak keturunan. Selain itu, ia juga melindungi jiwa dan kehormatan perempuan, agar tidak menjadi korban pernikahan yang tidak memiliki bukti sah secara hukum negara.
Dalam hukum Islam, dikenal juga metode istinbath seperti qiyas (analogi) dan sadd al-dzari’ah (menutup celah kerusakan). Jikalau hutang saja harus ditulis secara formal (sebagaimana QS. Al-Baqarah:282), apalagi pernikahan yang jauh lebih kompleks dan menyangkut keturunan, keluarga besar, hingga warisan.
Dengan pendekatan qiyas, maka pencatatan pernikahan dipandang sama pentingnya dengan dokumentasi transaksi utang. Sementara melalui pendekatan sadd al-dzari’ah, pencatatan menjadi pencegah potensi kerusakan yang lebih besar—seperti penelantaran anak, pemalsuan identitas pasangan, dan hilangnya hak-hak perempuan saat suami tiba-tiba menghilang atau menceraikan tanpa proses resmi.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin memberi ruang untuk penyesuaian hukum melalui ijtihad. Tentu menjadi tidak ada dalil eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang mensyaratkan pencatatan sebagai syarat sahnya pernikahan. Tapi, melalui perkembangan sosial dan hukum, para ulama masa kini sepakat bahwa pencatatan perlu dijadikan bagian dari sistem hukum Islam demi melindungi maslahat umat.
Ijtihad ini tidak keluar dari semangat maqashid syariah. Justru, hukum bisa berubah mengikuti perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Maka, menjadikan pencatatan nikah sebagai keharusan merupakan bagian dari pembaruan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai maqashid.
Maqashid syariah memberikan landasan kuat bahwa pencatatan pernikahan bukan hanya formalitas hukum, tapi bagian dari upaya menjaga keadilan, perlindungan, dan hak-hak asasi manusia. Dalam konteks negara seperti Indonesia, di mana hukum Islam dan hukum positif berjalan berdampingan, penting bagi masyarakat Muslim untuk memahami bahwa pencatatan nikah adalah bentuk nyata dari pelaksanaan syariah yang tidak hanya sah secara agama, tapi juga melindungi secara hukum negara.
0 Komentar